BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Waham
merupakan gangguan isi pikir yang etiologinya belum jelas. Sebagian sumber
mengatakan bahwa tidak ada gangguan fungsi otak yang mempengaruhi terjadinya
gangguan isi pikir : waham tersebut, kadang-kadang disertai halusinasi tetapi
tidak terjadi pada semua penderita waham.
Prevalensi terjadinya gangguan waham
menetap di Amerika Serikat berdasarkan DSM-IV-TR adalah
sekitar 0,03%, dimana angka ini jauh dibawah angka kejadian skizofrenia (1%)
dan gangguan mood (5%). 1,4 Insidensi tahunan gangguan waham menetap adalah 1
sampai 3 kasus baru per 100.000 populasi, yaitu kira-kira 4% dari semua perawatan pertama pasien
psikiatrik. Usia
rata-rata adalah kira-kira 40 tahun, tetapi rentang usia untuk onsetnya adalah
berkisar antara 18 tahun sampai 90 tahun (Keliat, BA, 1998).
Studi
lain yang dilakukan di Spanyol pada tahun 2008 berdasar kan rekam medis disuatu
rumah sakit, mendapati 370 pasien yang dirawat, di diagnosa dengan gangguan
waham menetap, dimana ditemukan rata-rata usia pasien-pasien adalah 55 tahun.
Wanita lebih sering menderita gangguan waham menetap dengan rasio. (Keliat, BA, 1998)
Klien yang mempunyai keyakinan tantang
kesehatan yang baik akan dapat melawati
fase-fase waham dengan koping yang adaptif, sedangkan pada klien yang
maladaptif yakin terhadap pemikirannya waham sering ditemui pada gangguan jiwa
berat, semangkin akut psikosis semakin sering ditemui waham disorganisasi dan
tidak sistematis. Maka dari itu kelompok mengangkat teori waham agar kita lebih
memahami tentang waham serta penyebab-waham dan dapat mengatasinya.
Perawat
sebagai bagian dari tim kesehatan yang memiliki lebih banyak kesempatan untuk
melakukan intervensi kepada pasien dan keluarga, sehingga fungsi dan peran
perawat dapat dimaksimalkan dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap
penderita seperti memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesehatan fisik,
perawat juga dapat melakukan pendekatan spiritual, psikologis dan
mengaplikasikan fungsi edukatornya dengan memberikan penyuluhan kesehatan
terhadap penderita sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan
penderita dan keluarga yang nantinya diharapkan dapat meminimalisir resiko
maupun efek yang mungkin muncul
dari gangguan waham.
Dari uraian
diatas, mengingat betapa banyaknya penderita yang mengalami Gangguan
proses pikir : Waham yang tidak bisa kita pandang sebelah mata, serta melihat betapa
besar peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dalam hal ini dapat andil
dalam kesehatan masyarakat, maka kelompok penulis mencoba mengangkat materi
tentang Gangguan
proses pikir : Waham.
B. Tujuan
Penulisan
1.
Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu
memahami tentang asuhan keperawatan klien dengan gangguan proses pikir : Waham.
2.
Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu menjelaskan
tentang konsep dasar teori waham, pengertian waham, macam-macam waham serta
asuhan keperawatan gangguan proses pikir : Waham secara teoritis.
C. Ruan
Lingkup Penulisan
Karena
luasnya ruang lingkup masalah tentang gangguan proses pikir : Waham ini, maka
kelompok penulis membatasi isi pembahasan hanya pada konsep dasar gangguan
proses pikir : Waham serta asuhan keperawatan.
D. Metode
penulisan
Penulisan makalah ini kelompok penulis menggunakan
metode deskriftif yaitu dengan penjabaran masalah – masalah yang ada dan
menggunakan studi kepustakaan dari literatur yang ada baik di perpustakaan
maupun di media internet sebagai pelengkap.
E. Sistematika
Penulisan
Makalah ini terdiri dari 4 bab yang disusun
dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II :
Tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep dasar gangguan waham dan
pengertiannya, proses terjadinya waham, penilaian terhadap stressor, sumber
koping, mekanisme koping, rentang respon, macam-macam waham.
Bab III :
Asuhan keperawatan pada pasien waham yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan,
rencana intervensi keperawatan, strategi pelaksana dan evaluasi keperawatan.
Bab IV :
Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
A. Konsep
Dasar Gangguan Waham
1. Pengertian
Waham
adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang
salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal
melalui proses interaksi atau informasi secara akurat (Yosep Iyus, 2009 hal 237).
Waham
adalah keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita norma (Stuart dan
Sundeen, 1998 hal 445).
Waham
adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan tetapi dipertahankan
dan tidak dapat dirubah secara logis oleh orang, kenyataan ini berasal dari
pemikiran klien dimana sudah kehilangan control (Dep Kes RI,1994 dalam Yosep
Iyus 2009 hal 237).
2. Proses
Terjadinya Waham
Menurut
Yosep Iyus (2009 hal 237-239), proses terjadinya waham terdiri dari beberapa
fase yaitu :
a.
Fase
lack of human need
Waham
diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara fisik maupun
psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang dengan
status social dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan
kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi
tetapi kesenjangan antara reality dengan
self ideal sangat tinggi. Misalnya ia
seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang yang dianggap
sangat cerdas, sangat berpengalaman dan diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham
terjadi karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat
dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang (life span history).
b.
Fase
lack of self esteem
Tidak
adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan
yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi
komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang
luas, seseorang tetap memasang self ideal
yang melebihi linkunga tersebut. Padahal self reality-nya jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi,
pengalaman, pengaruh, support system semuanya
sangat rendah.
c.
Fase
control internal external
Klien
mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakana adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan
diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut
belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi
hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan
menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau
konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang
lain.
d.
Fase
environmental support
Adanya
beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan klien
merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut
sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan control diri dan tidak berfungsinya norma (super ego) yang ditandai dengan tidak
ada lagi perasaan berdosa saat berbohong.
e.
Fase
comforting
Klien
merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap bahwa semua
orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering disertai
halusinasi pada saat klien menyendiri dan menghindari interaksi social (isolasi
sosial).
f.
Fase
improving
Apabila
tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan yang
salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan dengan
traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang
hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang
keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan religiusnya
bahwa apa-apa yang dilakukakan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
Proses terjanya
waham menurut Stuart and Laraia, (2005) adalah sebagai berikut :
a. Faktor
Predisposisi
1) Biologi
Faktor-faktor
genetik yang pasti mungkin terlibat dalam perkembangan suatu kelainan ini
adalah mereka yang memiliki anggota keluarga dengan kelainan yang sama (orang
tua, saudara kandung, sanak saudara lain). Gangguan perkembangan dan fungsi
otak / SSp. yang menimbulkan.
a) Hambatan
perkembangan otak khususnya kortek prontal, temporal dan limbik.
b) Pertumbuhan
dan perkembangan individu pada prenatal, perinatal, neonatus dan kanak-kanak.
2) Psikososial
Keluarga,
pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon psikologis dari klien.
Sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi seperti penolakan dan kekerasan.
3) Sosial
budaya
Kehidupan
sosial budaya dapat pula mempengaruhi timbulnya waham seperti
kemiskinan.Konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan, kerawanan) serta
kehidupan yang terisolasi dans tress yang menumpuk.
b.
Faktor
Presipitasi
Menurut Stuart (2005), faktor presipitasi terjadinya gangguan waham adalah:
Karakteristik
umum latar belakang termasuk riwayat penganiayaan fisik/emosional,
perlakuan kekerasan dari orang tua,tuntutan pendidikan yang perfeksionis,
tekanan, isolasi, permusuhan, perasaan tidak bergunaataupun tidak berdaya.
1)
Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2)
Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3)
Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon
individu dalam menanggapi stressor.
Proses
terjadinya waham menurut Stuart dan Sundeen dalam Yosep Iyus (2009 hal 239)
dapat dirangkum dalam pohon masalah sebagai berikut :
Effect
: RESIKO TINGGI PERILAKU KEKERASAN
Core
Problem : GANGGUAN ISI PIKIR : WAHAM
Causa
: ISOLASI SOSIAL
HARGA DIRI RENDAH
KRONIS
|
Tabel
1.1. Fase Terjadinya Waham
3.
Penilaian
terhadap stressor
Koping yang
berfokus pada emosi dan koping yang berfokus pada masalah Stuart
and Laraia ( 2005), Koping
yang berfokus pada emosi merupakan koping yang dilakukan untuk mengatasi
masalah dengan berfokus pada emosi sebagai penghilang atau paling tidak
mengendalikan tekanan. Koping yang berfokus pada masalah merupakan upaya untuk
mengurangi tekanan/stress dengan berfokus pada permasalahan yang dihadapi
secara langsung.
4.
Sumber
koping
Ada beberapa sumber koping individu yang
harus dikaji yang dapat berpengaruh terhadap gangguan otak dan prilaku kekuatan
dalam sumber koping dapat meliputi seperti : modal intelegensi atau kreativitas
yang tinggi. Orang tua harus secara aktif mendidik anak-anaknya, dewasa muda
tentang keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya belajar dan
pengamatan. Sumber keluarga dapat berupa pengetahuan tentang penyakit,
finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga dan kemampuan untuk memberikan
dukungan secara berkesinambungan. (Stuart
and sudeent, 2005)
Koping individu
dalam pelaksanaan tentu saja akan dipengaruhi atau bahkan ditentukan oleh
berbagai hal. Beberapa ahli menunjukkan ketertarikan untuk meneliti berbagai
macam faktor yang dapat mempengaruhi koping. Brehm & Kassin (1990)
berpendapat bahwa koping dipengaruhi oleh:
a.
Faktor-faktor internal seperti pikiran, perasaan, genetik, fisiologis,
dan/atau tipe kepribadian.
b.
Faktor-faktor eksternal seperti peristiwa-peristiwa atau fenomena alam yang
terjadi dalam hidup individu, konteks budaya dimana individu berada, dan/atau
hubungan-hubungan sosial yang dihadapinya.
Pervin &
John (1997) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi individu
dalam melakukan koping adalah waham. Cara individu dengan kepribadian introver
atau ekstrover misalnya, jelas akan berbeda. Pada individu introver, dia akan
lebih memfokuskan pada koping yang mendukung kepribadiannya yang lebih melihat
ke dalam dirinya. Sedangkan individu yang ekstrover akan memilih koping yang
lebih banyak melihat atau melibatkan hal-hal di luar dirinya.
Menurut Sment,
(1984) berpendapat bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana individu
melakukan koping terhadap tekanan. Faktor-faktor tersebut adalah:
a.
Kondisi individu yang bersangkutan, seperti berapa umurnya, apa jenis
kelaminnya, bagaimana temperamennya, faktor-faktor genetik yang didapat dari
leluhurnya, tingkat intelegensi, tingkat atau jenis pendidikan, suku asal,
kebudayaan dimana ia tinggal/dibesarkan, status ekonomi, dan/atau kondisi fisik
secara umum.
b.
Karakteristik kepribadian seperti tipe keribadian A atau B, individu yang
optimis atau pesimis, dan jenis-jenis /tipologi kepribadian lainnya.
c.
Kondisi sosial kognitif seperti dukungan sosial, jaringan sosial, dan/atau
kontrol pribadi atas diri individu itu sendiri.
d.
Hubungan yang terjadi antara individu tersebut dengan lingkunga sosial atau
jaringan sosialnya, dan/atau penyatuan diri masing-masing individu dalam sebuah
kelompok pada masyarakat di mana ia tinggal.
e.
Strategi mengatasi tekanan yang lebih banyak diambil setiap menghadapi
situasi yang membutuhkan pengentasan masalah, seperti berfokus pada emosi, pada
masalah, menghindar dari masalah, atau menganggap masalah tersebut tidak ada.
5.
Mekanisme
koping
Menurut
Stuart and Laraia (2005), perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien
dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis yang
maladaptif meliputi :
a. Regresi
: berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi
ansietas.
b. Proyeksi
: sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
c. Penyangkalan.
6.
Rentang
respons
Menurut Stuart Laraia (2005), Respons individu
terhadap penyakit fisik, berkaitan dengan pengalaman masa lalu, persepsi
terhadap penyakit, keyakinan terhadap penyembuhan dan sistem pelayanan
kesehatan. Rentang respon individu berfluktuasi dari respon adaptif sampai mal
adaptif.
a.
Respons
adaptif
Respon
adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang masih dapat
diterima atau norma-norma sosial budaya yang masih umum yang berlaku dengan
kata lain individu tersebut masih dalam batas-batas norma dalam menyelesaikan
masalahnya. Respon ini meliputi :
1) Menyendiri
/ solitute merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa
yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya serta mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah-langkah selanjutnya.
2) Otonomi merupakan kemampuan individu yang
menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3) Kebersamaan
merupakan suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu mampu
saling memberi dan saling menerima.
4)
Saling ketergantungan
merupakan suatu hubungan saling tergantung antar individu dengan orang lain
dalam rangka membina hubungan interpersonal.
b.
Respons maladaptif
Respon
mal adaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang menyimpang
dari norma-norma sosial, budaya, serta lingkungannya, respon mal adaptif yang
sering ditemukan adalah :
1)
Pikiran logis persepsi
akurat.
2)
Emosi konsisten dengan
pengalaman.
3)
Prilaku sesuai dengan
hubungan social.
4)
Kadang-kadang isi pikir terganggu ilusi.
5)
Reaksi emosional
ber-lebihan atau kurang.
6)
Prilaku ganjil atau
tidak lazim.
7)
Gangguan isi pikir
waham halusinasi
8)
Ketidakmampuan untuk
mengalami emosi
9)
Ketidakmampuan isolasi social
RENTANG RESPON WAHAM
Respon Adaptif Respon Maladaptif
|
|
Persepsi akurat
Emosi konsisten
dg pengalaman
Perilaku sesuai
Berhubungan sosial
Tabel
1.2. Rentang Respon Waham (Stuart dan Sundeen, 1998)
7.
Macam-macam waham
Menurut
Townsend (1998 hal 149), macam-macam waham adalah sebagai berikut :
a.
Waham kebesaran
Seseorang
memiliki suatu perasaan berlebihan dalam kepentingan atau kekuasaan.
b.
Waham curiga
Seseorang merasa
terancam dan yakin bahwa orang lain bermaksud untuk membahayakan atau
mencuriagai dirinya.
c.
Waham siar
Semua kejadian
dalam lingkungan sekitarnya diyakini merujuk/terkait kepada dirinya.
d.
Waham kontrol
Seseorang percaya bahwa
objek atau orang tertentu mengontrol perilakunya.
Menurut Yosep Iyus (2009 hal
239-240), macam-macam waham selain waham yang telah dijelaskan di atas adalah
sebagai berikut :
a.
Waham agama
Memiliki
keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulang kali
tetapi tidak sesuai kenyataan.
b.
Waham somatik
Meyakini bahwa
tubuh klien atau bagian tubuhnya terganggu, diucapkan berulang kali tetapi
tidak sesuai kenyataan.
c.
Waham nihilistik
Meyakini bahwa
dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, diucapkan berulangkali tetapi tidak
sesuai kenyataan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN WAHAM
Berbagai kehilangan dapat terjadi pada
pasca bencana, baik kehilangan harta benda, keluarga maupun orang yang
bermakna. Kehilangan menyebabkan stres bagi mereka yang mengalaminya. Jika
stres ini berkepanjangan dapat memicu masalah gangguan jiwa dan waham.
A. Pengkajian pasien waham
Tanda
dan gejala waham berdasarkan jenis waham meliputi :
1.
Waham kebesaran
: Individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuatan khusus dan
diucapkan berulang kali, tapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “ Saya ini
pejabat didepartemen kesehatan lho! “ atau, “ Saya punya tambang emas.”
2.
Waham curiga :
individu meyakini bahwa ada seorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/menciderai dirinya dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Contoh, “Saya tehu seluruh saudara saya ingin menghancurkan hidup
saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
3.
Waham agama :
Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan dan
diucapkan berulanh kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Kalau saya mau
masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari.”
4.
Waham somatik :
Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau terserang
penyakit dan diucaokan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh,
“Saya sakit kanker.” (Kenyataan pada pemerikasaan laboratorium tidak ditemukan
tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia sakit kanker.
5.
Waham nihilistik
: Individu meyakini bahwa dirinya sudah sudah tidak ada didunia/meninggal dan
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Ini kan alam
kubur ya, semua yang ada di sini adalah roh-roh.”
B. Diagnosa keperawatan
Setelah pengkajian dilakukan dan data subjektif dan obejektif
ditemukan pada pasien, diagnosis keperawatan yang dapat ditegakkan adalah
gangguan proses pikir : Waham.
C. Rencana intervensi keperawatan
Setelah diagnosis ditegakkan, perewat melakukan
tindakan keperawatan bukan hanya pada pasien tetapi juga keluarga. Tindakan
keperawatan pasien waham dan keluarganya meliputi :
1.
Tindakan
keperawatan pada pasien
a.
Tujuan
keperawatan
1)
Pasien dapat
berorientasi pada realitas secara bertahap
2)
Pasien dapat
memenuhi kebutuhan dasar
3)
Pasien mampu
berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
4)
Pasien
menggunakan obat dengan prinsip 5 benar
b.
Tindakan
keperawatan
1)
Membina hubungan
saling percaya
Sebelum memulai
mengkaji pasien waham, perawat harus membina hubungan saling percaya terlebih
dahulu agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat.
Tindakan yang
harus perawat lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya, yaitu :
a)
Mengucapkan
salam terpeutik
b)
Berjabat tangan
c)
Menjelaskan
tujuan interaksi
d)
Membuat kontrak
topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.
2)
Membantu
orientasi realitas
a)
Tidak mendukung
atau membantah waham pasien
b)
Meyakinkan
pasien berada dalam keadaan aman
c)
Mengobservasi
pengaruh waham pada aktivitas sehari-hari
d)
Jika pasien
terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa memberikan dukungan atau
menyangkal sampai pasien berhenti membicarakannya
e)
Memberikan
pujian jika penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan realitas.
3)
Mendiskusikan
kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi sehingga menimbulkan
kecemasan, rasa takut dan marah.
4)
Meningkatkan
aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional pasien.
5)
Mendiskusikan
tentang kemampuan positif yang dimiliki.
6)
Membantu
melakukan kemampuan dimiliki.
7)
Mendiskusikan
tentang obat yang diminum.
8)
Melatih minum
obat yang benar.
SP
1 pasien : Membina hubungan saling percaya; mengidentifikasi kebutuhan yang
tidak terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan; mempraktikkan pemenuhan kebutuhan
yang tidak terpenuhi.
Orientasi
“Selamat pagi, perkenalkan nam saya A, saya perawat
yang dinas pagi ini diruang Melati. Saya dinas dari jam 7 pagi sampai jam 2
siang nanti, saya yang akan merawat anda hari ini. Nama Anda siapa, senangnya
dipanggil apa?”
“Boleh kita berbincang-bincang tentang apa yang Bp
rasakan sekarang?”
“Berapa lama Bp mau kita berbincang-bincang?
Bagaimana kalau 30 menit?”
“Di mana enaknya kita berbincang-bincang, Bp?”
Kerja
“Saya
mengerti Bp merasa bahwa Bp adalah seorang nabi, tetapi sulit bagi saya untuk
memercayainya karena setahu saya semua nabi tidak ada lagi. Bisa kita lanjutkan
pembicaraan yang tadi terputus Bp?”
“Tampaknya
Bp gelisah sekali, bisa Bp ceritakan apa yang B rasakan?”
“O...jadi
Bp merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain dan tidak punya hak untuk
mengatur diri Bp sendiri?”
“Siapa
menurut Bp yang sering mengatur-atur diri Bp ?”
“Jadi,
ibu yang terlalu mengatur-ngatur ya Bp, juga kakak dan adik Bp yang lain?”
“Kalau
Bp sendiri, inginnya seperti apa?”
“Bagus,
Bp sudah punya rencana dan jadwal untuk diri sendiri!”
“Coba
kita tuliskan rencana dan jadwal tersebut Bp”
“Wah,
bagus sekali! Jadi setiap harinya Bp ingin ada kegiatan di luar rumah karena
bosan kalau dirumah terus ya?”
Terminasi
“Bagaimana
perasaan Bp setelah berbincang-bincang dengan saya?”
“Apa
saja tadi yang kita bicarakan? Bagus!”
“Bagaimana
kalau jadwal ini Bp coba lakukan, setuju?”
“Bagaimana
kalau saya datang kembali 2 jam lagi?”
“Kita
bercakap-cakap tentang kemampuan yang pernah Bp miliki?”
“Mau
dimana kita bercakap-cakap?”
“Bagaimana
kalau disini lagi?”
SP 2 pasien :
Mengidentifikasi kemampuan positif pasien dan membantu mempraktikkannya
Orientasi
“Selamat
pagi Bp, bagaimana perasaannya saat ini? Bagus!”
“Apakah
Bp sudah mengingat-ingat apa saja hobi Bp?”
“Bagaimana
kalau kita bicarakan hobi tersebut sekarang?”
“Di
mana enaknya kita berbincang-bincang tentang hobi Bp tersebut?”
“Berapa
lama Bp mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 20 menit?”
Kerja
“Apa
saja hobi Bp? Saya catat ya Bp, terus apa lagi?”
“Wah,
rupanya Bp pandai main bola voli ya, tidak semua orang bisa bermain voli
seperti itu lho Bp.”
“Dapatkah
Bp ceritakan kepada saya kapan pertama kali belajar main voli, siapa yang dulu
mengajarkannya kepada B, di mana?”
“Dapatkah
Bp peragakan kepada saya bagaimana bermain voli yang baik itu?”
“Wah,
baik sekali permainannya.”
“Coba
kita buat jadwal untuk kemampuan Bp ini ya, berapa kali sehari/seminggu Bp mau
bermain voli?”
“Apa
yang Bp harapkan dari kemampuan bermain voli ini?”
“Ada
tidak hobi Bp yang lain selain main voli?”
Terminasi
“Bagaimana
perasaan Bp setelah kita bercakap-cakap tentang hobidan kemampuan Bp?”
“Setelah
ini, coba Bp lakukan latihan voli sesuai dengan jadwal yang telah kita buat
ya!”
“Besok
kita ketemu lagi ya Bp? Bagaimana kalau nanti sebelum makan siang? Di kamar
makan saja ya?”
“Nanti
kita akan membicarakan tentang obat yang harus Bp minum, setuju?”
SP 3 Pasien :
Mengajarkan dan melatih cara minu obat yang benar
Orientasi
“Selamat pagi Bp! Bagaimana Bp sudah coba latihan
volinya? Bagus sekali!”
“Sesuai janji kita dua hari yang lalu, bagaimana
kalau sekarang kita membicarakan tentang obat yang Bp minum?
“ Dimana kita mau bicara?”
“Berapa lama Bp mau kita bicara? Bagaimana kalau 30
menit?”
Kerja
“Bp,
berapa macam obat yang diminum? Jam berapa saja obat diminum?”
“Bp
perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya juga tenang. Obatnya
ada 3 macam, yang berwarna oranye namanya CPZ gunanya untuk menenangkan, yang
berwarna putih ini namanya THP gunanya agar rileks, dan warnanya merah jambu
ini namanya HLP gunanya agar pikiran Bp tenang. Semuanya ini diminum 3 kali
sehari jam 7 pagi, jam 1 siang, dan jam 7 malam. Jika nanti setelah minum obat
mulut Bp terasa kering, untuk membantu mengatasinya Bp bisa banyak minum dan
mengisap-isap es batu. Sebelum minum obat ini, Bp mengecek dulu label dikotak obat
apakah benar nama Bp tertulis di situ, berapa dosis atau butir yang harus
diminum, jam berapa saja harus diminum. Baca juga apakah nama obatnya sudah
benar”
“Obat-obat
ini harus diminum secara teratur dan kemungkinan besar harus diminum dalam
jangka waktu yang lama. Agar tidak kambuh lagi, sebaiknya Bp tidak menghentikan
sendiri obat yang harus diminum sebelum membicarakannya dengan dokter.”
Terminasi
“Bagaimana
perasaan Bp setelah kita bercakap-cakap tentang obat yang Bp minum?”
“Apa
saja obatnya? Jam berapa minum obat?”
“Mari
kita masukkan pada jadwal kegiatan abang. Jangan lupa minum obatnya dan nanti
saat makan minta sendiri obatnya pada suster.”
“Jadwal
yang telah kita buat kemarin dilanjutkan ya Bp!”
“Bp,
besok kita ketemu lagi untuk melihat jadwal kegiatan yang telah dilaksanakan.
Bagaimana kalau seperti biasa, jam 10 pagi ditempat sama? Sampai besok!”
2.
Tindakan
keperawatan pada keluarga
a.
Tujuan
keperawatan
1)
Keluarga mampu
mengidentifkasi waham pasien
2)
Keluarga mampu
memfasilitasi pasien untuk memenuhi kebutuhan yang dipenuhi oleh wahamnya
3)
Keluarga mampu
mempertahankan program pengobatan pasien secara optimal.
b.
Tindakan
keperawatan
1)
Diskusikan
masalah yang dihadapi keluarga saat merawat pasien dirumah
2)
Diskusikan
dengan keluarga tentang waham yang dialami pasien
3)
Diskusikan
dengan keluarga tentang :
a)
Cara merawat
pasien waham dirumah
b)
Tindakan tindak
lanjut dan pengobatan yang teratur
c)
Lingkungan yang
tepat untuk pasien
d)
Obat pasien
(nama obat, dosis, frekuensi, efek samping, akibat penghentian obat)
4)
Berikan latihan
kepada keluarga tentang cara merawat pasien waham
5)
Menyusun rencana
pulang pasien bersama keluarga.
SP 1 keluarga :
Membina hubungan saling keluarga; mengidentifikasi masalah menjelaskan proses
terjadinya masalah; dan membantu pasien untuk patuh minum obat.
Orientasi
“Selamat
pagi Pak, Bu, perkenalkan nama saya A, saya perawat yang dinas diruang melati
ini. Saya yang merawat Bp selama ini. Nama Bapak dan Ibu siapa, senangny
dipanggil apa?”
“Bagaimana
kalau kita sekarang kita membicarakan masalah Bp dan cara merawat Bp di rumah?”
“Di
mana kita mau berbincang-bincang? Bagaimana kalau di ruang wawancara?”
“Berapa
lama waktu Bapak dan Ibu?”
“Bagaimana
kalau 30 menit?”
Kerja
“Pak,
Bu, apa masalah yang Bapak/Ibu rasakan dalam merawat Bp? Apa yang sudah
dilakukan di rumah?”
“Dalam
menghadapi sikap anak Ibu dan Bapak yang selalu mengaku-ngaku sebagai seorang
nabi, tetapi nyatanya bukan nabi merupakan salah satu gangguan proses berpikir.
Untuk itu, akan saya jelaskan sikap dan cara menghadapinya. Setiap kali anak
Bapak dan Ibu berkata bahwa ia seorang nabi, Bapak/Ibu dengan mengatakan
pertama “Bapak/Ibu mengerti Bp merasa
seorang nabi, tetapi sulit bagi Bapak/Ibu untuk mempercayainya karena setahu
Bapak/Ibu semua nabi sudah meninggal”, kedua, Bapak dan Ibu harus lebih
sering memuji Bp jika melakukan ha-hal yang baik, dan ketiga hal-hal ini
sebaiknya dilakukan oleh seluruh keluarga yang berinteraksi dengan Bp. Bapak
/Ibu dapat bercakap-cakap dengan Bp tentang kebutuhan yang diinginkan Bp,
misalnya dengan mengatakan, ”Bapak/Ibu
percaya Bp punya kemampuan dan
keinginan. Coba ceritakan pada Bapak/Ibu! Bp kan punya kemampuan...(kemampuan
yang pernah dimiliki oleh anak).”
“Keempat,
katakan, “Bagaimana kalau dicoba lagi
sekarang?” Jika Bp mau mencoba, berikan pujian.”
“Pak,
Bu, Bp perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya juga tenang.
Obatnya ada 3 macam, yang berwarna oranye namanya CPZ gunanya agar tenang, yang
putih namanya THP gunanya supaya rileks, dan yang merah jambu ini namanya HLP
gunanya agar pikiran tenang semuanya ini harus diminum secara teratur 3 kali
sehari jam 7 pagi, jam 1 siang, dan jam 7 malam, jangan dihentikan sebelum
berkonsultasi dengan dokter karena dapat menyebabkan Bp kambuh kembali.”
(Libatkan keluarga saat memberikan penjelasan tentang obat kepada pasien).
“Bp
sudah mempunyai jadwal minum obat. Jika Bp minta obat sesuai jamnya, segera
beri pujian!”
Terminasi
“Bagaimana
perasaan Bapak dan Ibu setelah kita bercakap-cakap tentang cara merawat Bp di rumah?”
“Setelah
ini coba Bapak dan Ibu lakukan apa yang sudah saya jelaskan tadi setiap kali
berkunjung kerumah sakit.”
“Baiklah
bagaimana kalau dua hari lagi Bapak dan Ibu datang kembali kesini dan kita akan
mencoba melakukan langsung cara merawat Bp sesuai dengan pembicaraan kita
tadi.”
“Jam
berapa Bapak dan Ibu bisa kemari? Baik saya tunggu, kita ketemu lagi di tempat
ini ya Pak, Bu.”
SP 2 keluarga :
Melatih keluarga cara merawat pasien
Orientasi
“Selamat
pagi Pak, Bu, sesuai janji kita dua hari yang lalu kita sekarang bertemu lagi.”
“Bagaimana
Pak, Bu, ada pertanyaan tentang cara merawat Bp yang kita bicarakan dua hari
yang lalu?”
“Sekarang
kita akan latihan cara-cara merawat tersebut ya Pak, Bu? Kita akan coba di sini
dulu, setelah itu baru kita coba langsung ke Bp ya?”
“Berapa
lama Bapak dan Ibu punya waktu?”
Kerja
“Sekarang
anggap saya Bp yang sedang mengaku-ngaku sebagai nabi, coba Bapak dan Ibu
praktikkan cara bicara yang benar jika Bp sedang dalam keadaan seperti ini.”
“Bagus,
betul begitu caranya!”
“Sekarang
coba praktikkan cara memberikan pujian pada kemampuan yang dimiliki Bp. Bagus!”
“Sekarang
coba cara memotivasi Bp minum obat dan melakukan kegiatan positifnya sesuai
jadwal?”
“Bagus
sekali, ternyata Bapak dan Ibu sudah mengerti cara merawat Bp.”
“Bagaimana
kalau sekarang kita mencobanya langsung kepada Bp?”
(Ulangi
lagi semua cara di atas langsung pada pasien).
Terminasi
“Bagaimana
perasaan Bapak dan Ibu setelah kita berlatih cara merawat Bp?”
“Setelah
ini, coba Bapak dan Ibu lakukan apa yang sudah dilatih tadi setiap kali Bapak
dan Ibu membesuk Bp.”
“Baiklah
bagaimana kalau dua hari lagi Bapak dan Ibu datang kembali ke sini dan kita
akan mencoba lagi cara merawat Bp sampai Bapak dan Ibulancar melakukannya.”
“Pukul
berapa Bapak dan Ibu kemari?”
“Baik
saya tunggu, kita ketemu lagi di tempat ini ya Pak, Bu.”
SP 3 keluarga :
Membuat perencanaan pulang bersam keluarga.
Orientasi
“Selamat
pagi Pak, Bu, karena Bp sudah boleh pulang maka kita bicarakan jadwal Bp selama
di rumah.”
“Bagaimana
Pak, Bu, selama Bapak dan Ibu besuk apakah sudah terus dilatih cara merawat Bp?”
“Nah
sekarang bagaimana jika kita bicarakan jadwal di rumah? Mari Bapak dan Ibu
duduk di sini!”
“Berapa
lama Bapak dan Ibu punya waktu? Baik, 30 menit saja, sebelum Bapak/Ibu
menyelesaikan administrasi di depan.”
Kerja
“Pak,
Bu, ini jadwal Bp selama Bp di rumah sakit. Coba diperhatikan! Apakah kira-kira
dapat dilaksanakan semua di rumah? Jangan lupa memperhatikan Bp, agar ia tetap
menjalankan di rumah, dan jangan lupa memberi tanda M (mandiri), B (bantuan),
atau T (tidak melaksanakan).”
“Hal-hal
yang perlu dipehatikan lebih lanjut adalah perilaku yang di tampilkan oleh anak
Ibu dan Bapak selama di rumah. Jika, misalnya Bp mengaku sebagai seorang nabi
terus-menerus dan tidak memperlihatkan perbaikan, menolak minum obat, atau memperlihatkan
perilaku membahayakan orang lain. Jika hal ini terjadi segera hubungi Suster E
di Puskesmas Indra Putri, puskesmas terdekat dari rumah Ibu dan Bapak, ini
nomor telepon puskesmasnya (0651) 321xxx.”
Selanjutnya,
Suster E yang akan membantu memantau perkembangan Bp selama di rumah.”
Terminasi
“Apa
yang ingin Bapak/Ibu tanyakan? Bagaimana perasaan Bapak/Ibu? Sudah siap
melanjutkan di rumah?”
“Ini
jadwal kegiatan hariannya. Ini rujukan untuk Suster E di PKM Indra Puri. Jika
ada apa-apa Bapak/Ibu boleh juga menghubungi kami. Silakan menyelesaikan
administrasi di kantor depan.”
D. Evaluasi
keperawatan
1.
Evaluasi
Kemampuan Pasien Waham dan Keluarganya
Nama pasien : ...........
Ruangan : ...........
Nama perawat : ...........
Tuliskan tanggal
setiap dilakukan supervisi.
No.
|
Kemampuan
|
Tanggal
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
||||
A
|
Pasien
|
|||||||||
1.
|
Berkomunikasi sesuai dengan kenyataan
|
|
|
|
|
|
|
|
||
2.
|
Menyebutkan cara memenuhi kebutuhan
yang tidak terpenuhi
|
|
|
|
|
|
|
|
||
3.
|
Mempraktikkan cara memenuhi kebutuhan
yang tidak terpenuhi
|
|
|
|
|
|
|
|
||
4.
|
Menyebutkan kemampuan positif yang
dimiliki
|
|
|
|
|
|
|
|
||
5.
|
Mempraktikkan kemampuan positif yang
dimiliki
|
|
|
|
|
|
|
|
||
6.
|
Menyebutkan jenis, jadwal, dan
waktuminum obat
|
|
|
|
|
|
|
|
||
7.
|
Melakukan jadwal aktivitas dan minum
obat sehari-hari
|
|
|
|
|
|
|
|
||
B
|
Keluarga
|
|
|
|
|
|
|
|
||
1.
|
Menyebutkan pengertian waham dan
proses terjadinya wham
|
|
|
|
|
|
|
|
||
2.
|
Menyebutkan cara merawat pasien waham
|
|
|
|
|
|
|
|
||
3.
|
Mempraktikkan cara merawat pasien
waham
|
|
|
|
|
|
|
|
||
4.
|
Membuat jadwal aktivitas dan minum
obat pasien di rumah (perencanaan pulang)
|
|
|
|
|
|
|
|
||
2.
Evaluasi Kemampuan Perawat Dalam Merawat Pasien
Waham
Nama pasien : ...........
Ruangan : ...........
Nama perawat : ...........
No.
|
Kemampuan
|
Tanggal
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
||
A
|
Pasien
|
|
||||||
|
Sp 1 Pasien
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Membantu orientasi realita
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Mendiskusiakn kebutuhan yang tidak
terpenuhi
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Membantu pasien memenuhi kebutuhannya
|
|
|
|
|
|
|
|
4.
|
Menganjurkan pasien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Nilai SP 1 pasien
|
|
|
|
|
|
|
|
|
SP
2 Pasien
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Berdiskusi
tentang kemampan yang dimiliki
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Melatih
kemampuan yng dimiliki
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Nilai Sp 2 pasien
|
|
|
|
|
|
|
|
|
SP 3 Pasien
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Mengevaluasi
jadwal kegiatan harian pasien
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Memberikan
pendidikan kesehtan tentang penggunaan obat secara tertur
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Menganjurkan
pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Nilai Sp 3 pasien
|
|
|
|
|
|
|
|
B
|
Keluarga
|
|||||||
|
SP 1 pasien
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Mendiskusikan masalah yang
disarankan keluarga dalam merawat pasien
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Menjelaskan pengertian, tanda dan
gejala waham, dan jenis waham yang didalam pasien beserta proses terjadinya
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Menjelaskan cara-cara merawt
pasien waham
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Nilai
Sp 1 Keluarga
|
|
|
|
|
|
|
|
|
SP
2 Keluarga
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Melatih keluarga mempraktikkan
cara merawat pasien waham
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Melatih keluarga melakukan cara
merawat lansung pada pasien waham
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Nilai
Sp 2 Keluarga
|
|
|
|
|
|
|
|
|
P
3 Keluarga
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Membantu keluarga membuat jadwal
aktivitas di rumah termasuk minum obat (perencanaan pulang)
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Menjelaskan tindak lanjut pasien
setelah pulang
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Nilai
Sp 3 Keluarga
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Total
nilai: pasien + SP keluarga
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Rata-rata
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Waham adalah suatu keyakinan
yang salah, tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut kadang aneh. Waham
sering ditemui pada gangguan jiwa berat. Semakin akut psikosis sering sering
waham di temui. Waham yang akan muncul biasanya waham kendali pikir, kebesaran
tersangkut, bizarre, hipokondri, cemburu, curiga, diancam, kejar, bersalah,
berdosa, tak berguna dan kisnin. Klien yang terkena gangguan waham mengalami
komunikasi dan putaran balik otak yang mengatur proses informasi secara
abnormal. Pintu masuk dalam otak dapat mengakibatkan ketidakmampuan menanggapi
stimulus dari otak. Langkah yang dapat kita ambil adalah harus bersikap
adjektif, membina hubungan saling percaya dengan klien, menjadwalkan aktivitas
klien, membina hubungan interpersonal.
Masalah keperawatan yang
prioritas pada pasien dengan gangguan waham adalah gangguan proses pikir:
waham, kerusakan komunikasi verbal, resiko mencederai orang lain, gangguan
intrasosial: menarik diri, gangguan konsep diri: harga diri dan tidak
efektifnya koping individu. Intervensi yang dapat diangkat adalah membina
hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip therapeutik, jangan
membantah dan mendukung waham klien, yakinan klien berada dalam lingkungan aman
dan terlindungi, membantu klien mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki,
membantu klien mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi, membantu klien
dapat berhubungan dengan realita, kaloborasi dalam pemberian obat anti
psikosis, dan membantu klien dapat menggunakan obat untuk mengendalikan
wahamnya.
B. Saran
1.
Perawat
Perawat harus memahami
gangguan waham untuk dapat membantu pasien dalam menangani masalah gangguan
waham agar perawat lebih bersikap empati terhadap klien dengan gangguan
waham.perawat dapat melakukan pendekatan kepada klien serta mengajak klien
beraktivitas agar klien tidak terus-terusan mengingat keyakinan dirinya.
2.
Keluarga
Jika anggota keluarga hadir,
klinisi dapat memutuskan untuk melibatkan mereka di dalam rencana pengobatan.
Keluarga akan mendapatkan manfaat dengan membantu ahli terapi dan dengan
demikian membantu pasien.keluarga sebaiknya memiliki waktu untuk berbicara
dengan klien jangan mengucilkannya,jika klien dirawat dirumah keluarga
sebaiknya merawat klien jangan membiarkan klien sendirian dan berikan obat yang
sudah diberikan dokter.
3.
Masyarakat
Sebaiknya masyarakat
memahami dan dapat bersikap yang baik kepada klien yang berfikir macam-macam,
kita dapat memberlakukanny sebaik-baiknya jangan menjauhinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar