BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Psikososial merupakan suatu perilaku
dimana seseorang dapat menemukan identitas dirinya dan bersosialisasi sesuai
dengan tahap kembangnya, psikososial juga dapat memicu terjadinya perilaku
kekerasan, jika seseorang itu tidak bisa menemukan identitas dirinya dan tidak
bisa memenuhi kebutuhannya
Perilaku kekerasan biasa disebut juga
dengan perilaku yang bersifat agresif yang menimbulkan suatu perilaku kasar
atau kata-kata yang menggambarkan perilaku permusuhan, mengamuk dan potensi
untuk merusak secara fisik yang dapat menimbulkan kerusakan dan membahayakan baik
bagi diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Masalah
yang ditimbulkan dari perilaku kekerasan ini selain merusak dirinya sendiri,
juga merusak orang lain dan lingkungan, contoh dari merusak orang lain,
misalnya memukuli orang lain, menciderai orang lain dan memandang tajam orang
tersebut seperti memandang orang tersebut sebagai musuh terbesarnya, kemudian
contoh dari lingkungan, misalnya merusak dan mengotori lingkungan tersebut juga
termasuk dalam perilaku kekerasan.
Klien yang biasa datang ke unit psiakatri,
biasanya datang dalam
keadaan mekanisme koping
yang tidak adekuat. Selama masa-masa stress klien, sering
terjadi perilaku agresif dan melukai. Oleh karena itu, peran perawat sangatlah penting dalam melakukan pencegahan dan
penanganan perilaku kekerasan,
dikarenakan perawat lebih banyak menghabiskan waktunya bersam klien disbanding
dengan profesi lain. Namun hal ini lebih beresiko pula pada perawat
untuk menjadi
korban dari perilaku klien. Karena alasan tersebut, maka kita sebagai calon
perawat, harus dapat mengkaji klien dengan beresiko perilaku kekerasan dan
mengintervensinya secara efektif.
Perawat perlu menjalin hubungan terapeutik kepada klien agar
terjalin hubungan saling percaya antara klien dan perawat. Sehingga memudahkan
perawat untuk mendapatkan data tentang apa yang dirasakan klien sehingga
membuat klien marah. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa marah
merupakan salah satu respon yang memicu terjadinya perilaku kekerasan.
B.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Tujuan Umum :
Mahasiswa
mampu memahami konsep dasar dan asuhan keperawatan pada klien perilaku
kekerasan secara teoritis.
2.
Tujuan Khusus :
a.
Menjelaskan tentang konsep dasar
perilaku kekerasan
b.
Menjelaskan tentang asuhan keperawatan
pada pasien dengan perilaku kekerasan secara teoritis.
C.
RUANG LINGKUP PENULISAN
Ruang lingkup dari penulisan makalah
ini, yaitu asuhan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan yang
mencakup konsep dasar dan asuhan keperawatan perilaku kekerasan secara teoritis
D. METODE
PENULISAN
Metode
penulisan pada makalah ini dengan metode deskriptif dan melalui pengumpulan
literatur dari berbagai sumber. Dalam penyampaian ini kami menggunakan metode
presentasi supaya audient dapat dengan mudah mencerna materi ini
E. SISTEMATIKA
PENULISAN
Sistematika
penulisan pada makalah ini yaitu :
Bab I : Pendahuluan
yang terdiri dari latar belakang, tujuan, runag lingkup penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II :
Tinjauan Teoritis tentang
pengertian, mekanisme terjadinya perilaku kekerasan, penatalaksanaan perilaku
kekerasan, dan asuhan keperawatan perilaku kekerasan
BAB III : Penutup
terdiri dari Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A
KONSEP
DASAR PERILAKU KEKERASAN
1.
Pengertian
Perilaku
kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan
(panic). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu sendiri sering dipandang
sebagai suatu rentang, dimana agresif verbal disuatu sisi dan perilaku
kekerasan (violence) disisi yang lain.
(Yosep, 2008: 146)
Perilaku kekerasan merupakan respon terhadap stressor yang dihadapi oleh
seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal,
bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis.
(Berkowitz (2000,
dikutip oleh Yosep 2008: 245),
Menurut Particia D. Barry
(1998, dikutip oleh Yosep 2008 : 145), Perilaku kekerasan adalah suatu
keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah.
Hal ini didasari keadaan emosi secara mendalam dari setiap orang sebagai bagian
penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan kelingkingan,
kedalam diri atau secara destruktif.
Perilaku kekerasan merupakan suatu
perilaku yang identik yang biasanya ditujukan ke orang lain dengan
karekteristik bertindak marah, kebencian dan permusuhan yang membawa ancaman
yang bahaya bagi orang lain dalam konteks yang tidak dapat diterima oleh orang
lain. (Martin, 1998 hal : 26 )
Jadi, berdasarkan definisi di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku kekerasan dalah suatu perilaku yang
menggambarkan keadaan marah, agresif verbal maupun nonverbal, serta perasaan
benci yang dapat menimbulkan bahaya pada diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan.
2.
Mekanisme terjadinya Perilaku Kekerasan
Mekanisme
terjadinya perilaku kekerasan terdiri dari predisposisi, presipitasi, penilaian
terhadap stressor, sumber koping, mekanisme koping, dan rentang respon.
a. Predisposisi
Menurut Townsend
( 1998 : 387 ), ada 3 faktor yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekerasan
:
1)
Faktor biologi
a)
Pengaruh
neurofisiologis. Perubahan dalam system limbic otak dapat mempengaruhi perilaku
agresif pada beberapa individu
b)
Pengaruh biokimia.
Macam-macam dari neurotransmitter (mis: epinefrin,neropinefrin, dopamine )
dapat memainkan peranan dan memudahkan dan menghambat impuls-impuls agresif
c)
Pengaruh genetika.
Beberapa penyelidikan menyatakan bahwa factor heriditer sebagai komponen
perilaku agresif
d)
Kelainan otak. Berbagai
kelainan otsk misalnya trauma, tomor, dan kelainan otak tertentu juga dapat
memicu atau dapat menimbulkan perilaku agresif
2)
Faktor psikologis
a)
Teori psikoanalitik. Berbagai
teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa agresi dan kekerasan adalah
ekspresi ketidakberdayaan atau harga diri rendah, yang timbul bila
kebutuhan-kebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi
b)
Teori pembelajaran.
Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif dipelajari dari model peran yang
berwibawa dan berpengaruh.
3)
Teori sosikultural.
Individu yang tidak bisa mengedalikan hasrat untuk memenuhi apa yang
diinginkannya, sehingga ia menggunakan cara kejahatan untuk memenuhi apa yang
inginnya.
Sedangkan
Menurut Yosep (2008: 145), ada
beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekerasan, yaitu:
1) Faktor
biologis
a)
Neurologic factor,
beragam komponendari sistem syaraf seperti synap, neurotransmitter, dendrit,
axon terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan
pesan-pesan yang akan memengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya respon agresif.
b)
Genetic factor,
adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi perilaku
agresif.
c)
Cyrcardian Rhytm
(irama sirkandian tubuh), memeran peranan pada individu. Menurut penelitian
pada jam-jam tertentu manusia mengalami peninkatan cortisol terutama pada
jam-jam sibul seperti mennjelang masuk kerja dan menjelang berakhir pekerjaan.
d)
Biochemistry factor (faktor biokimia tubuh) seperti neurotranmitter diotak (epineprin,
nonepineprin, dopamin, dan serotonin) sangat berperan dalam penyampaian
informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh, adanya menstimulasi dari luar
tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui impuls
nuerotranmitter keotak dan merespon melalui serabut efferent.
e)
Brain Area Disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak organik,
tumor otak, trauma otak, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindakan kekerasan
2) Faktor
Psikologis
a)
Teori psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh
riwayat tumbuh kembang seseorang (life span history). Teori ini
menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana
anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup
cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai
kompensasi adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya
harga diri pelaku tindak kekerasan.
b)
Imitation, modeling, and
information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa
berkembang dalam lingkungan yang mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan
perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan individu
meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan
untuk menonton tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif pula
(makin keras pukulannya akan diberi coklat), anak lain menonton tayangan cara
mengasihi dan mencium boneka tersebut dengan reward positif pula (makin baik
belaiannya mendapat hadiah coklat). Setelah anak-anak keluar dan diberi boneka
ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah
dialaminya.
c)
Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan
terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respons ayah saat menerima kekecewaan dan
mengamati bagaimana respons ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa agresivitas
lingkungan sekitar menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa
dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan.
3) Faktor
Sosial Budaya
Social-learning
theory, Teori yang dikembangkan oleh Bandura
(1977) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon lain.
Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi
seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa eksternal atau
internal. Contoh internal, oang yang mengalami keterbangkitan seksual karena
menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak
menonton film tersebut. Seseorang anak marah karena tidak boleh beli es
kemudian ibunya memberinya es agar si anak berhenti marah. Anak tersebut akan
belajar bahwa bila ia marah maka ia akan mendapatkan apa yang diinginkan.
Contoh eksternal, seorang anak menunjukkan perilaku agresif setelah melihat
seseorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap
sebuah boneka.
Kontrol masyarakat yang rendah dan
kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah
dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
Hal ini dipicu juga dengan maraknya demonstrasi, film-film kekerasan, mistik,
tahayul dan perdukunan dalam tayangan telivisi. Emosi marah sering merangsang
kemarahan dari orang lain, dan menimbulkan penolakan dari orang lain. Sebagian
klien menyalurkan kemarahan dengan nilai dan mengkritik tingkah laku orang
lain, sehingga orang lain merasa sakit hati. Proses tersebut dapat mengasingkan
individu sendiri menjauhkan diri dari orang lain.
4)
Faktor Spiritual
Dalam tinjauan
spiritual, kemarahan dan agresivitas merupakan dorongan dan bisikan setan yang
sangat menyukai kerusakan agar manusia menyesal (Devil Support). Semua bentuk kekerasan adalah bisikan setan melalui
pembuluh darah ke jantung, otak, dan organ vital manusia lain yang dituruti
manusia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya terancam dan harus
segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal (ego) dan norma agama (super ego)
b. Presipitasi
Menurut Yosep
(2008: 247), Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali
berkaitan dengan :
1)
Ekspresi diri,
ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah
konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal dan sebagainya.
2)
Ekspresi dari tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi
3)
Kesulitan dalam
mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk
memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4)
Ketidak siapan
seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan menempatkan dirinya
sebagai seorang yang dewasa
5)
Adanya riwayat
perilaku antisosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak
mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
6)
Kematian anggota
keluarga terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan , atau
perubahan tahap perkembangan keluarga.
c. Penilaian terhadap Stressor
Penilaian stessor melibatkan makna dan pemahaman dampak dari situasi stres
bagi individu. itu mencakup kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan respon
sosial. Penilaian adalah evaluasi tentang pentingnya sebuah peristiwa dalam kaitannya
dengan kesejahteraan seseorang. Stressor mengasumsikan makna, intensitas, dan
pentingnya sebagai konsekuensi dari interpretasi yang unik dan makna yang
diberikan kepada orang yang berisiko (Stuart & Laraia, 2005, hal : 67).
Respon perilaku adalah hasil dari respons emosional dan fisiologis, serta
analisis kognitif seseorang tentang situasi stres. Caplan (1981, dalam
Stuart & Laraia, 2005, hal : 67) menggambarkan empat fase dari respon perilaku individu untuk menghadapi
stress, yaitu:
1)
Perilaku yang mengubah lingkungan
stres atau memungkinkan individu untuk melarikan diri dari itu
2)
Perilaku yang memungkinkan
individu untuk mengubah keadaan eksternal dan setelah mereka
3)
Perilaku intrapsikis yang
berfungsi untuk mempertahankan rangsangan emosional yang tidak menyenangkan
4)
Perilaku intrapsikis yang
membantu untuk berdamai dengan masalah dan gejala sisa dengan penyesuaian
internal.
d. Sumber Koping
Menurut Stuart & Laraia (2005, hal : 68) , sumber koping dapat berupa aset ekonomi, kemampuan dan keterampilan, teknik
defensif, dukungan sosial, dan motivasi. Hubungan antara individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat sangat berperan penting pada saat ini. Sumber koping
lainnya termasuk kesehatan dan energi, dukungan spiritual, keyakinan positif,
keterampilan menyelesaikan masalah dan sosial, sumber daya sosial dan material,
dan kesejahteraan fisik.
Keyakinan spiritual dan melihat diri positif dapat berfungsi sebagai dasar
harapan dan dapat mempertahankan usaha seseorang mengatasi hal yang paling
buruk. Keterampilan pemecahan masalah termasuk kemampuan untuk mencari
informasi, mengidentifikasi masalah, menimbang alternatif, dan melaksanakan
rencana tindakan. keterampilan sosial memfasilitasi penyelesaian masalah yang
melibatkan orang lain, meningkatkan kemungkinan untuk mendapatkan kerjasama dan
dukungan dari orang lain, dan memberikan kontrol sosial individu yang lebih
besar. akhirnya, aset materi berupa barang dan jasa yang bisa dibeli dengan
uang. Sumber koping sangat meningkatkan pilihan seseorang mengatasi di hampir
semua situasi stres. Pengetahuan dan kecerdasan yang lain dalam menghadapi
sumber daya yang memungkinkan orang untuk melihat cara yang berbeda dalam
menghadapi stres. Akhirnya, sumber koping juga termasuk kekuatan ego untuk
mengidentifikasi jaringan sosial, stabilitas budaya, orientasi pencegahan
kesehatan dan konstitusional.
e. Mekanisme Koping
Menurut Stuart & Laraia (2005, hal : 69), mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri
antara lain :
1)
Sublimasi, yaitu menerima suatu
sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk suatu dorongan
yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang
sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan
kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi
ketegangan akibat rasa marah.
2)
Proyeksi, yaitu menyalahkan orang
lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik. Misalnya
seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya.
3)
Represi, yaitu mencegah pikiran
yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak
yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut
ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua
merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci
itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4)
Reaksi formasi, yaitu mencegah
keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan
perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang
yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan
kasar.
5)
Displacement, yaitu melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi
itu. Misalnya anak berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman
dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain
perang-perangan dengan temannya.
f. Rentang Respon
Menurut Yosep
(2008: 146 & 248), rentang respon marah adalah sebagai berikut:
Adaptif Maldaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan
1)
Asertif
Klien mampu
mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan kelegaan
2)
Furstasi
Klien gagal
mencapai tujuan dan kepuasan/saat marah dan tidak dapat menemukan alternatif.
3)
Pasif
Klien merasa tidak
dapat mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya dan menyerah.
4)
Agresif
Klien
mengekspresikan secara fisik, tapi masih terkontrol, mendorong orang lain
dengan ancaman
5)
Kekerasan
Perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol, disertai amuk dan merusak lingkungan
3.
Penatalaksanaan Perilaku Kekerasan
Penatalaksanaan
pada klien dengan perilaku kekerasan meliputi penatalaksanaan keperawatan dan
penatalaksanaan medis.
a.
Penatalaksanaan
Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dapat
dilakukan melalui proses pendekatan keperawatan dan terapi modalitas.
1)
Pendekatan proses keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang
dilakukan berdasarkan proses keperawatan, yaitu meliputi pengkajian
keperawatan, diagnosa keperawatan, rencana tindakan keperawatan serta evaluasi.
2) Terapi Modalitas
Terapi kesehatan jiwa telah
dipengaruhi oleh perubahan terkini dalam perawatan kesehatan dan reimbursement,
seperti pada semua area kedokteran, keperawatan, dan disiplin ilmu keshatan
terkait. Bagian ini secara singkat menjelaskan modalitas terapi yang saat ini
digunakan baik pada lingkungan, rawat inap, maupun rawat jalan (Videbeck, 2001,
hlm. 69).
a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk
mempertimbangkan lingkungan bagi semua klien ketika mencoba mengurangi atau menghilangkan
agresif. Aktivitas atau kelompok yang direncanakan seperti permainan kartu,
menonton dan mendiskusikan sebuah film, atau diskusi informal memberikan klien
kesempatan untuk membicarakan peristiwa atau isu ketika klien tenang. Aktivitas
juga melibatkan klien dalam proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian perawat yang tulus terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah, pikiran, serta perasaan klien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman klien (Videbeck, 2001, hlm. 259).
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian perawat yang tulus terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah, pikiran, serta perasaan klien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman klien (Videbeck, 2001, hlm. 259).
b) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, klien
berpartisipasi dalam sesi bersama kelompok individu. Para anggota kelompok
bertujuan sama dan diharapkan memberi kontribusi kepada kelompok untuk membantu
yang lain dan juga mendapat bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok
ditetapkan dan harus dipatuhi oleh semua anggota kelompok. Dengan menjadi
anggota kelompok klien dapat, mempelajari cara baru memandang masalah atau cara
koping atau menyelesaikan masalah dan juga membantunya mempelajari keterampilan
interpersonal yang penting (Videbeck, 2001, hlm. 70).
c) Terapi keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi
kelompok yang mengikutsertakan klien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah
memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi psikopatologi klien,
memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional keluarga, merestrukturisasi gaya
perilaku keluarga yang maladaptif, dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah
keluarga (Steinglass, 1995 dalam Videbeck, 2001, hlm. 71).
d) Terapi individual
Psikoterapi individu adalah metode
yang menimbulkan perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap,
cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal antara ahli
terapi dan klien. Tujuan dari terapi individu yaitu, memahami diri dan perilaku
mereka sendiri, membuat hubungan personal, memperbaiki hubungan interpersonal,
atau berusaha lepas dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-klien: introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat klien ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi (Videbeck, 2001, hlm. 69).
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-klien: introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat klien ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi (Videbeck, 2001, hlm. 69).
b. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis dapat dibagi
menjadi dua metode, yaitu metode psikofarmakologi dan metode psikososial.
1) Metode Biologik
Berikut adalah beberapa metode
biologik untuk penatalaksanaan medis klien dengan perilaku kekerasan yaitu:
a) Psikofarmakologi
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi. (Videbeck, 2001, hlm. 22).
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 643), beberapa kategori obat yang digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi. (Videbeck, 2001, hlm. 22).
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 643), beberapa kategori obat yang digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
·
Antianxiety dan Sedative Hipnotics
Obat-obatan ini dapat mengendalikan
agitasi yang akut. Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering
digunakan didalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien.
Tapi obat ini direkomendasikan untuk dalam waktu lama karena dapat menyebabkan
kebingungan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk gejala depresi.
Selanjutnya pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect dari Benzodiazepines dapat mengakibatkan peningkatan perilaku agresif. Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala, demensia dan ’developmental disability’.
Selanjutnya pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect dari Benzodiazepines dapat mengakibatkan peningkatan perilaku agresif. Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala, demensia dan ’developmental disability’.
·
Antidepressant
Penggunaan obat ini mampu mengontrol
impulsif dan perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood.
Amitriptyline dan Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas yang
berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.
·
Mood Stabilizers
Penelitian menunjukkan bahwa
pemberian lithium efektif untuk agresif karena manik. Pada beberapa kasus,
pemberiannya menurunkan perilaku agresif yang disebabkan oleh gangguan lain
seperti retardasi mental, cedera kepala, Skizofrenia, gangguan kepribadian.
Pada klien dengan epilepsi lobus temporal, bisa meningkatkan perilaku agresif.
Pemberian Carbamazepines dapat mengendalikan perilaku agresif pada klien dengan
kelainan EEG (electroencephalogram).
·
Antipsychotic
Obat-obatan ini biasanya
dipergunakan untuk perawatan perilaku agresif. Bila agitasi terjadi karena
delusi, halusinasi atau perilaku psikotik lainnya, maka pemberian obat ini
dapat membantu, namun diberikan hanya untuk 1-2 minggu sebelum efeknya
dirasakan.
·
Medikasi lainnya
Banyak kasus menunjukkan bahwa
pemberian Naltrexone (anatagonis opiat), dapat menurunkan perilaku mencedrai
diri. Betablockers seperti Propanolol dapat menurunkan perilaku kekerasan pada
anak dan pada klien dengan gangguan mental organik.
b) Pemeriksaan diagnostik
Meskipun pemeriksaan diagnostik
merupakan pemeriksaan penunjang, tetapi peranannya penting dalam menjelaskan
dan mengkuantifikasi disfungsi neurobiologis, memilih pengobatan, dan
memonitor respon klinis (Maramis, 2009, hlm. 205).
Menurut Doenges (1995, hlm. 253),
pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk penyakit fisik yang dapat menyebabkan
gejala reversibel seperti kondisi defisiensi/toksik, penyakit neurologis,
gangguan metabolik/endokrin. Serangkaian tes diagnostik yang dapat dilakukan
pada Skizofrenia Paranoid adalah sebagai berikut:
·
Computed Tomograph (CT) Scan
Hasil yang ditemukan pada pasien
dengan Skizofrenia berupa abnormalitas otak seperti atrofi lobus temporal,
pembesaran ventrikel dengan rasio ventrikel-otak meningkat yang dapat dihubungkan
dengan derajat gejala yang dapat dilihat.
·
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberi gambaran otak tiga
dimensi, dapat memperlihatkan gambaran yang lebih kecil dari lobus frontal
rata-rata, atrofi lobus temporal (terutama hipokampus, girus parahipokampus,
dan girus temporal superior).
·
Positron Emission Tomography (PET)
Alat ini dapat mengukur aktivitas
metabolik dari area spesifik otak dan dapat menyatakan aktivitas metabolik yang
rendah dari lobus frontal, terutama pada area prefrontal dari korteks serebral.
·
Regional Cerebral Blood Flow (RCBF)
Alat yang dapat memetakan aliran
darah dan menyatakan intensitas aktivitas pada daerah otak yang bervariasi
·
Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
Alat yang dapat menunjukkan respon
gelombang otak terhadap ransangan yang bervariasi disertai dengan adanya
respons yang terhambat dan menurun, kadang-kadang di lobus frontal dan sistem
limbik.
·
Addiction Severity Index (ASI)
ASI dapat menentukan masalah
ketergantungan (ketergantungan zat), yang mungkin dapat dikaitkan dengan
penyakit mental, dan mengindikasikan area pengobatan yang diperlukan.
·
Electroensephalogram (EEG)
Dari pemeriksaan didapatkan hasil
yang mungkin abnormal, menunjukkan ada atau luasnya kerusakan organik pada
otak.
2) Metode psikososial
Psikoterapi ialah suatu cara
pengobatan terhadap masalah emosional seseorang pasien yang dilakukan oleh
seseorang yang terlatih dalam hubungan profesional secara sukarela, dengan
maksud hendak menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala yang ada,
mengoreksi perilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian
secara positif (Maramis, 2009, hlm. 478).
Menurut Hawari (2001, hlm. 111),
Terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi dengan
lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri, tidak
tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan
masyarakat. Terapi psikoreligious juga dapat menjadi alternatif bagi penderita
gangguan jiwa seperti kegiatan ibadah
B
ASUHAN KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN SECARA TEORITIS
1.
Pengkajian
Pengkajian
keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan menurut Keliat (1999 : 3-4 dan 21), adalah sebagai berikut:
a. Pada pengkajian biodata atau identitas
klien dapat kita kaji meliputi: nama, umur, jenis kelamin (l/p), nomor cm,
ruang rawat, tanggal masuk MRS.
b. Penanggung Jawab klien
meliputi: orang tua, wali, atau,orang
lain
c.
Tanda dan gejala
perilaku kekerasan
Menurut Yosep
(2008: 1250-1251),
perawat dapat mengidentifikasikan tanda dan gejala
perilaku kekerasan :
1)
Fisik
Ciri- ciri pada
penampilan fisik dapat ditandai dengan : muka
merah dan tegang, mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, postur tubuh kaku,
dan jalan mondar-mandir.
2)
Verbal
Penampilan
verbal yang tampak meliputi : bicara kasar,
suara tinggi, membentak atau berteriak,
mengancam secara verbal atau fisik,
mengumpat dengan kata-kata kotor
dan ketus
3)
Perilaku
Perilaku yang
biasa ditunjukan biasanya : melempar atau
memukul benda/orang lain, menyerang orang lain,
melukai diri sendiri atau orang lain,
merusak lingkungan
dan amuk/agresif
4)
Emosi
Tidak
adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, bermusuhan,
mengamuk, menyalahkan dan menuntut.
5)
Intelektual
Mendominasi,
cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan sarkasme.
6)
Spiritual
Merasa
diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung
perasaan orang lain, tidak peduli dan kasar.
7)
Sosial
Menarik
diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
8)
Perhatian
Bolos,
mencuri, melarikan diri, dan penyimpangan seksual.
d. Pengkajian
perilaku asertif, pasif, dan agresif/kekerasan
Menurut Yosep
(2008: 249), perawat perlu memahami dan membedakan berbagai perilaku yang
ditampilkan klien. Hal ini dapat dianalisa dari perbandingan berikut :
Aspek
|
Pasif
|
Asertif
|
Agresif
|
Isi
pembicaraan
|
Negatif, merendahkan diri, misalnya :
“Bisakah saya
melakukan hal itu?
Bisakah anda
melakukannya ?
|
Positif menawarkan diri, misalnya :
“Saya mampu,
saya bisa, anda boleh, anda dapat “
|
Menyombongkan diri, merendahkan orang lain, misalnya :
“Kamu pasti
tidak bisa, kamu selalu melanggar, kamu tidak pernah menurut, kamu tidak akan
bisa”
|
Tekanan suara
|
Lambat, mengeluh.
|
Sedang.
|
Keras ngotot.
|
Posisi badan
|
Menundukkan kepala
|
Tegap dan santai.
|
Kaku, condong kedepan.
|
Jarak
|
Menjaga jarak dengan sikap mengabaikan .
|
Mempertahankan jarak yang nyaman.
|
Siap dengan jarak akan menyerang orang lain.
|
Penampilan
|
Loyo, tidak dapat tenang.
|
Sikap tenang.
|
Mengancam, posisi menyerang.
|
Kontak mata
|
Sedikit/sama sekali tidak.
|
Mempertahankan kontak mata sesuai dengan hubungan.
|
Mata melototot dan dipertahankan.
|
e. Perilaku
kekerasan ( agresif )
Bertujuan untuk
mengetahui hal apa saja yang dapat menimbulkan rasa marah, efek dari perilaku agresif (kekerasan), serta dari manakah
sumber rasa marah, amuk dan agresif itu timbul apakah dari diri sendiri
maupun orang lain.
f. Support yang tersedia
Bertujuan
untuk mengidentifikasikan tersedianya dan kesediaan keluarga dalam memberi
motivasi, dorongan dan nasehat kepada klien agar dapat mengontrol dan bahkan
mencegah terjadinya amuk atau perilaku kekerasan
g. Mekanisme
koping keluarga
Bertujuan
untuk menggambarkan kemampuan keluarga dalam memberikan support yang positif dan nasehat kepada pasien agar tidak merusak
dan berperilaku kekerasan yang dapat menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun
orang lain.
h. Ketakutan dan kecemasan keluarga
Bertujuan
untuk mengidentifikasikan apakah keluarga mengalami suatu perasaan gangguan
fisiologis ataupun emosional yang berhubungan dengan suatu sumber yang dapat
diidentifikasi yang dirasakan membahayakan pasien dan orang lain
saat pasien melakukan perilaku kekerasan.
2.
Pohon
masalah
Menurut Stuart
dan Sudden (1997, dalam buku Yosep 2008, hal : 250) menindentifikasi pohon
masalah perilaku kekerasan sebagai berikut :
Resiko
tinggi menciderai diri sendiru, orang lain dan lingkungan
|
Berduka
disfungsional
|
Isolasi
sosial
|
Koping
keluarga tidak efektif
|
Perubahan
persepsi sensori : halusinasi
|
Perilaku
kekerasan
|
Inefektif
proses terapi
|
Gangguan
harga diri kronis
|
3.
Diagnosa
keperawatan
Diagnosa yang dapat diambil pada klien dengan perilaku
kesehatan menurut Townsend (1998 : 355-357) dan Keliat (1999 : 21-26), adalah
sebagai berikut :
a.
Resiko mencederai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan
b.
Perilaku kekerasan; harga diri rendah
4.
Rencana Asuhan Keperawatan
Rencana asuhan
keperawatan yang dapat dibahas berdasarkan dua diagnosa yang ada diatas
berdasarkan Townsend (1998 : 355-357) dan Keliat (1999 : 21-26), adalah sebagai
berikut :
a.
Resiko mencederai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan
Tujuan umum :
klien tidak mencederai diri / orang lain / lingkungan.
Tujuan khusus :
1)
Klien dapat membina hubungan
saling percaya
2)
Klien dapat mengidentifikasi
penyebab perilaku kekerasan.
3)
Klien dapat mengidentifikasi
tanda-tanda perilaku kekerasan.
4)
Klien dapat mengidentifikasi
perilaku kekekerasan yang biasa dilakukan.
5)
Klien dapat mengidentifikasi
akibat perilaku kekerasan.
6)
Klien dapat melakukan cara
berespons terhadap kemarahan secara konstruktif.
7)
Klien dapat mendemonstrasikan
sikap perilaku kekerasan.
8)
Klien dapat dukungan keluarga
dalam mengontrol perilaku kekerasan.
9)
Klien dapat menggunakan obat yang
benar.
Intervensi
1)
Bina hubungan saling percaya. Salam
terapeutik, perkenalan diri, beritahu tujuan interaksi, kontrak waktu yang
tepat, ciptakan lingkungan yang aman dan tenang, observasi respon verbal dan
non verbal, bersikap empati.
Rasional : Hubungan saling percaya
memungkinkan terbuka pada perawat dan sebagai dasar untuk intervensi
selanjutnya.
2)
Beri kesempatan pada klien untuk
mengugkapkan perasaannya.
Rasional : Informasi dari klien penting
bagi perawat untuk membantu kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
3)
Bantu untuk mengungkapkan
penyebab perasaan jengkel / kesal
Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam akan menolong pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian persoalan.
Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam akan menolong pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian persoalan.
4)
Anjurkan klien mengungkapkan
dilema dan dirasakan saat jengkel.
Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari penyelesaian masalah yang konstruktif pula.
Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari penyelesaian masalah yang konstruktif pula.
5)
Observasi tanda perilaku
kekerasan pada klien.
Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan untuk intervensi.
Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan untuk intervensi.
6)
Simpulkan bersama tanda-tanda
jengkel / kesan yang dialami klien.
Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.
Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.
7)
Anjurkan klien untuk
mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.
Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.
8)
Bantu klien bermain peran sesuai
dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : mengetahui bagaimana cara
klien melakukannya.
9)
Bicarakan dengan klien apakah
dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
Rasional : membantu dalam memberikan
motivasi untuk menyelesaikan masalahnya.
10) Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
Rasional : mencari metode koping yang
tepat dan konstruktif.
11) Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
Rasional : mengerti cara yang benar dalam
mengalihkan perasaan marah.
12) Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
Rasional : menambah pengetahuan klien
tentang koping yang konstruktif.
13) Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga diri klien.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga diri klien.
14) Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.
Rasional : dengan cara sehat dapat dengan
mudah mengontrol kemarahan klien.
15) Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
16) Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih.
Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.
Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.
17) Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut.
Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat.
Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat.
18) Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara
tersebut.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
19) Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel /
marah.
Rasional : mengetahui kemajuan klien
selama diintervensi.
20) Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang
telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada klien.
Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada klien.
21) Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan dalam perubahan perilaku klien.
Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan dalam perubahan perilaku klien.
22) Jelaskan cara-cara merawat klien. Terkait dengan cara mengontrol perilaku
kekerasan secara konstruktif..
Rasional : meningkatkan pengetahuan keluarga dalam merawat klien secara bersama.
Rasional : meningkatkan pengetahuan keluarga dalam merawat klien secara bersama.
23) Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien.
Rasional : mengetahui sejauh mana keluarga menggunakan cara yang dianjurkan.
Rasional : mengetahui sejauh mana keluarga menggunakan cara yang dianjurkan.
24) Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi
Rasional : mengetahui respon keluarga dalam
merawat klien.
25) Jelaskan pada klien dan keluarga jenis-jenis obat yang diminum klien
seperti : CPZ, haloperidol, Artame.
Rasional : menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang obat dan fungsinya.
Rasional : menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang obat dan fungsinya.
26) Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa seizin
dokter.
Rasional : memberikan informasi
pentingnya minum obat dalam mempercepat penyembuhan.
b.
Perilaku kekerasan; harga diri rendah
Tujuan umum :
klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan dengan orang
lain
Tujuan khusus :
1)
Klien dapat membina
hubungan saling percaya.
2)
Klien dapat
mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang dimiliki.
3)
Klien dapat menilai
kemampuan yang digunakan.
4)
Klien dapat menetapkan
dan merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.
5)
Klien dapat melakukan
kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
6)
Klien dapat
memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Intervensi :
1)
Bina hubungan saling percaya dengan
menggunakan prinsip komunikasi terapeutik
Rasional
: hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada perawat dan sebagai
dasar untuk intervensi selanjutnya.
2)
Diskusikan kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki klien.
Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.
Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.
3)
Setiap bertemu klien dihindarkan dari
memberi penilaian negatif.
Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat klien dalam hidupnya.
Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat klien dalam hidupnya.
4)
Utamakan memberi pujian yang realistik
pada kemampuan dan aspek positif klien.
Rasional
: meningkatkan harga diri klien.
5)
Diskusikan dengan klien kemampuan yang
masih dapat digunakan.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.
6)
Diskusikan kemampuan yang dapat
dilanjutkan penggunaannya di rumah sakit.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.
7)
Berikan pujian.
Rasional
: meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.
8)
Minta klien untuk memilih satu kegiatan
yang mau dilakukan di rumah sakit.
Rasional
: agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai kemampuan yang
dimiliki.
9)
Bantu klien melakukannya jika perlu beri
contoh.
Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan.
Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan.
10)
Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional
: meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik.
11)
Diskusikan jadwal kegiatan harian atas
kegiatan yang telah dilatih.
Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.
Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.
12)
Beri kesempatan pada klien untuk mencoba
kegiatan yang telah direncanakan.
Rasional
: tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya menggunakan respon
koping mal adaptif dengan yang lebih adaptif.
13)
Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional
: meningkatkan harga diri klien.
14)
Diskusikan kemungkinan pelaksanaan
dirumah.
Rasional
: mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.
15)
Beri pendidikan kesehatan pada keluarga
tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah.
Rasional
: meningkatkan pengetahuan keluarg a dalam merawat klien secara bersama.
16)
Bantu keluarga memberikan dukungan
selama klien dirawat
Rasional
: meningkatkan peran serta keluarga dalam membantu klien meningkatkan harga
diri rendah.
17)
Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di
rumah.
Rasional
: memotivasi keluarga untuk merawat klien.
5.
Evaluasi
Menurut Yosep
(2008: 153), evaluasi yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
a.
Identifikasi
situasi yang dapat membangkitkan agresif klien
b.
Bagaimana keadaan
klien saat marah dan benci pada orang tersebut
c.
Sudahkah klien
menyadari akibat dari perilaku kekerasan dan pengaruhnya pada yang lain
d.
Buatlah komentar
yang kritikal
e.
Apakah klien sudah
mampu mengekspresikan sesuatu yang berbeda
f.
Klien mampu
menggunakan aktivitas secara fisik untuk mengurangi perasaan marahnya
g.
Mampu mentoleransi
rasa marahnya sehingga tidak menimbulkan agresif
h.
Konsep diri klien
sudah meningkat
i.
Kemandirian dalam
berfikir dan aktivitas meningkat
BAB
III
STRATEGI
PELAKSANAAN
PADA
KLIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN
A. Identitas
klien
Nama : Ny. J
Umur : 25 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jln. Panglima A’im
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
No RM : 15012011
Nama perawat
pelaksana : Khairunnisyah
B.
Proses keperawatan
1. Kondisi
klien
Data subjektif :
·
Klien mengatakan kesal
sama sikap suaminya yang suka selingkuh
·
Klien mengatakan ia
sangat kesal sama sekretaris suaminya yang sangat dekat dengan suaminya
·
Klien juga mengatakan
ia akan membunuh atau memukuli perempuan yang berani mendekati suaminya
·
Klien mengatakan ia
tidak percaya dengan suaminya dan ia sangat
mencurigai suaminya selingkuh dengan perempuan lain
·
Menurut informasi dari
suaminya klien sering dating kekantor suaminya dan memukuli sekretaris suaminya
·
Klien juga sering
marah-marah dirumah dan melempari barang-barang apabila suaminya pulang larut
malam
Data objektif :
·
Muka klien tampak kesal
·
Mata klien melotot
·
Tangan klien mengepal
·
Cara bicara klien kasar
dan cepat
2. Diagnose
keperawatan : resiko tinggi perilaku kekerasan
3. Tujuan
Tujuan umum :
Klien dapat
mengontrol perilaku kekerasan baik secara verbal, social, spiritual, dan terapi
psikoformatika
Tujuan khusus :
a.
Klien dapat membina
hubungan saling percaya
b.
Klien dapat
mengindentifikasi perilaku kekerasan
c.
Klien dapat
mengindentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
d.
Klien dapat
mengindentifikasi akibat perilaku kekerasan
e.
Klien dapat menyebutkan
cara mengontrol perilaku kekerasan
f.
Klien dapat
mempraktekkan cara mengatasi perilaku kekerasan
4. Tindakan
a. Bina
hubungan saling percaya
b. Bantu
klien untuk mengungkapkan perasaan marahnya
c. Bantu
klien mengungkapkan penyebab kemarahannya
d. Bantu
klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang dialamninya
e. Diskusikan
kepada klien mengenai dampak negatif yang diakibatkan oleh marahnya
f. Tanyakan
kepada klien apakah klien bisa mengontrol marahnya
g. Tawarkan
kepada klien tentang teknik yang akan digunakannya
h. Ajarkan
kepada klien tehnik mengatasi marah, salah satunya memukul bantal
i.
Evaluasi apakah klien
mengerti tentang teknik yang diajarkan kepadanya
j.
Kontrak selanjutnya
untuk tindakan teknik mengatasi marah yang lainnya
C.
Strategi pelaksanaan
1.
Orientasi
Assalamualaikum,
selamat pagi ibu, perkenalkan saya suster nisa, apakah benar ini ibu Jamaliya,
ibu senangnya dipanggil ibu apa?
2.
Evaluasi/ Validasi
Kalau
saya boleh tahu, Ibu sudah berapa lama disini?
Apakah
ibu ingat siapa yang membawa ibu kemari?
Bagaimana
perasaan ibu hari ini?
Kalau
saya lihat ibu tampak ingin marah ya, ibu kesalnya kenapa?
3.
Kontrak waktu
Ibu
bagaimana kalau hari ini kita bercakap-cakap tentang hal-hal yang membuat ibu
marah, gak lama kok bu sekitar 15 menit aja kok, ibu maunya kita bicara disini
atau ditempat lain misalnya ditaman.
Baiklah
ibu berarti kita berbincangnya disini aja ya bu
4.
Kerja
Nah,
sekarang coba ibu ceritakan apa yang membuat ibu sangat kesal dan membuat ibu
marah?
Oh
gitu ya bu, apakah suami ibu sudah lama seperti ini?
Sebelumnya
udah ibu tanyakan penyebab suami ibu sering pulang malam?
ibu
kesal ya,,, kalau ibu kesal biasanya ibu merasa gak kalau jantung ibu tuc
berdebar-debar dan rasa ingin mengamuk,
kalau
ibu marah biasanya apa yang ibu lakukan?
Kalau
seperti itu akan banyak dampak negative yang akan diakibatkan oleh marah ibu?
Bagaimana
kalau kita belajar mengatasi marah ibu dan tidak menimbulkan dampak negative,
disini saya punya 4 cara yang bisa mengatasi marah ibu yaitu :
1.
Tarik nafas dalam, agar
ibu lebih rileks
2.
Memukul bantal supaya
ibu bisa melampiaskan marah ibu dengan objek bantal
3.
Ibu bercerita dengan
orang ibu percaya agar terasa lebih lega
4.
Spiritual , yakni
dengan mendekatkan diri kepada allah, agar hati ibu lebih tenang
5.
Minum obat penenang,
agar ibu merasa tenang,
bagaimana ibu, dari ke 5 cara
tersebut mana yang ingin ibu lakukan
memukul bantal ya ibu, ayo kita
ambil bantalnya dan anggap aja bantal itu orang yang paling ibu benci, terus
ibu pukul sampai ibi merasa puas.
5.
Terminasi
a.
Evaluasi subjektif dan objektif
:
bagaimana ibu perasaan ibu sekarang, apakah
udah terasa lega ibu…
ya, saya juga lihat ibu juga sekarang sudah
tampak rilek,
b.
Tindak lanjut :
Nah,
bagaimana kalau latihan ini kita masukkan kedalam kegiatan sehari-hari ibu,
truz ibu maunya kita latihan ini setiap hari dan pada jam berapa?
Kalau
ibu marah, ibu bisa melakukan teknik ini untuk melampiaskan kemarahan ibu,,
c.
Kontrak lanjut
Nah,
tindakan yang kita lakukan tadi itu merupakan salah satu tindakan teknik
mengatasi marah, bagsimana kalau nanti siang sekitar jam 12 siang, kita
mempelajari teknik napas dalam, agar ibu bisa melakukannya setiap ibu marah.
Ok
ibu, saya permisi dulu ya ibu, dan kita akan bertemu lagi nanti siang ya
bu,,assalamualaikum ibu……..
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Perilaku kekerasan
timbul karena adanya campuran
perasaan frustasi dan benci atau marah
yang bersatu dalam suatu keadaan emosi yang secara mendalam dari setiap orang
sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan. Akibat yang ekstrim yang ditimbulkan dari
perilaku kekerasan adalah amarah
atau ketakutan (panic). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu sendiri
sering dipandang sebagai suatu rentang
yang dapat menimbulkan kerusakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Sebagai perawat
ataupun tenaga kesehatan lain hendaknya memberikan saran, motivasi bahkan cara
yang dapat meminimalkan dan bahkan mencegah terjadinya amuk dan perilaku
kekerasan pada klien sehingga klien dapat menyalurkan kemarahannya pada tempat
dan situsai yang benar dan positif sehingga tidak membahayakan pasien sendiri
maupun orang lain. Perawat juga bisa memberikan aktivitas ataupun kegiatan yang
dapat mengurangi dari tingkat amuk dan kemarahan klien sehingga hal-hal yang
tidak diinginkan tidak terjadi. Oleh sebab itulah peran dari setiap aspek dan orang terdekat klien sangat berpengaruh
pada timbulnya perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
klien.
B.
SARAN
Berdasarkan
kesimpulan diatas, maka kelompok mengambil saran dalam rangka meningkatkan
pelayanan asuhan keperawatan. Saran-saran adalah sebagai berikut :
1.
Untuk Keluarga
Apabila sudah mengetahui dan memahami akibat yang akan
dilakukan oleh klien yang melakukan perilaku kekerasan,
maka sebagai orang terdekat / keluarga harus memberikan motivasi dan nasehat agar pasien dapat mengontrol marah, frustasi dan
kekerasannya.
2.
Untuk Perawat
Bagi seorang
perawat sebaiknya harus memahami dan mengerti baik secara teoritis maupun
praktek tentang perilaku kekerasan agar dapat memberikan nasehat, motivasi, dorongan dan memantau ketat pada klien yang melakukan perilaku kekerasan agar tidak terjadi hal-hal yang
membahayakan klien sendiri ataupun orang lain dan memberikan dorongan serta support positif kepada keluarga yang mungkin mengalami stress, cemas, dan takut akan kondisi klien dan tindakan
yang dilakukan klien.
3.
Untuk Rumah Sakit
Bagi rumah sakit hendaknya memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan membuat suasana lingkungan menjadi lebih nyaman agar klien tidak melakukan perilaku kekerasan kepada
pihak rumah sakit beserta petugas lainnya. Usahakan memberikan saran, nasehat dan motivasi kepada klien agar klien mendapatkan cara tentang bagaimana
mengontrol frustasi, marah dan perilaku kekerasannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiana, Keliat .1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
EGC
Hawari,
Dadang. 2001. Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta : FKUI
Stuart, Gail W & Laraia, Michele T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric
Nursing 8th Edition. Mosby, Inc. All right reserved
Tucker,
Susan Martin. (1998). Standar Perawatan
Pasien. Jakarta : EGC
Townsend, Mary C. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Videbeck, Sheila.L. 2001. Buku Ajar Keperawatan
Jiwa. Alih bahasa: Renata Komalasari. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Yosep, Iyus. 2008. Keperawatan Jiwa. Jakarta : Reflika Aditama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar