MAKALAH KEPERAWATAN JIWA I
” KONSEPTUAL MODEL KEPERAWATAN JIWA : MODEL MEDIKAL ”
DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5
EDY NOVRIADI
LIANA SARI
DAI’MATUL HASANAH
TRI ASMAWATI
U. YENI MAULINA
WIRAYUDHA RUSADI
TARIQ SETIAWAN
MURADI
EDY NOVRIADI
LIANA SARI
DAI’MATUL HASANAH
TRI ASMAWATI
U. YENI MAULINA
WIRAYUDHA RUSADI
TARIQ SETIAWAN
MURADI
DOSEN PEMBIMBING:
WAHYU KIRANA, M.Kep., Sp. Jiwa
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM PONTIANAK
PRODI SI KEPERAWATAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan ilmu
keperawatan, model konseptual dan teori merupakan aktivitas berfikir yang
tinggi. Model konseptual mengacu pada ide – ide global mengenai individu,
kelompok, situasi atau kejadian tertentu yang berkaitan dengan disiplin yang
spesifik (Potter & Perry, 2005). Model konsep keperawatan digunakan dalam
memberikan pengetahuan untuk meningkatkan praktik, penuntun penelitian serta
mengidentifikasi bidang dan tujuan dari praktik keperawatan (Potter & Perry
, 2005).
Pada umumnya,
tenaga kesehatan khususnya tenaga kesehatan jiwa melakukan praktek dalam
kerangka model konseptual. Perawat jiwa dapat bekerja lebih efektif jika
tindakan mereka didasari pada suatu model yang mengenali adanya sehat atau
sakit sebagai hasil dari berbagai karakteristik individu yang berinteraksi
dengan faktor lingkungan (Sundeen & Stuart , 1998)
Salah satu model
konseptual dalam keperawatan jiwa adalah model medikal. Model medikal ini
fokusnya pada diagnosis penyakit mental dan proses pengobatan berdasarkan
diagnosis. Pada model ini, gangguan perilaku disebabkan oleh penyakit biologis.
Gejala – gejala yang timbul sebagai akibat dari kombinasi faktor – faktor
fisiologik, genetik, lingkungan dan sosial. Perilaku menyimpang berhubungan dengan
toleransi pasien terhadap stres. Diagnosis penyakit pada model ini dilandasi
oleh kondisi yang ada dan informasi historis serta pemeriksaan diagnostik. Pengobatan pada model medikal ini berupa terapi somatik dan farmakologik
selain berbagai teknik – teknik interpersonal. Fungsi model medikal adalah
mengobati yang sakit dan proses pengobatan pada fisik, tidak menyalahkan
perilaku kliennya (Sundeen & Stuart , 1998).
Dari uraian tentang
model konseptual keperawatan jiwa yaitu model medikal, kelompok tertarik untuk
membahas tentang model medikal tersebut secara lebih mendalam dalam sebuah
makalah agar mahasiswa/i keperawatan mengetahui/memahami model konseptual
keperawatan jiwa khususnya model medikal.
B.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah
:
1.
Tujuan Umum
Untuk memahami model konseptual
keperawatan jiwa khususnya model medikal
2.
Tujuan Khusus
a.
Menjelaskan model konseptual keperawatan jiwa
b.
Menjelaskan model konseptual keperawatan jiwa : model
medikal
c.
Mengaplikasikan model konseptual keperawatan jiwa : model
medikal
C.
Ruang
Lingkup Penulisan
Ruang
lingkup penulisan pada makalah ini, kelompok membatasi ruang lingkup penulisan
yaitu konsep dasar tentang konseptual model keperawatan jiwa : model medikal.
D.
Metode
Penulisan
Metode
penulisan dalam penyusunan makalah ini, kelompok menggunakan metode deskriftif
yaitu dengan menggambarkan konsep dasar tentang konseptual model keperwatan
jiwa, model medikal.
E.
Sistematika
Penulisan
Penulisan
makalah ini terdiri dari 4 bab yang meliputi :
BAB I :
Pendahuluan : latarbelakang, tujuan penulisan, ruang lingkup, metode penulisan, sistematika penulisan,
BAB II :
Tinjauan teoritis : model konseptual keperawatan, model konseptual keperawatan
jiwa, model konseptual keperawatan jiwa : model medikal
BAB III :
Kasus , analisa kasus, penyelesaian masalah
BAB IV : Penutup
: Kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Model Konseptual
Keperawatan Jiwa
1.
Model Konseptual
Model adalah contoh, menyerupai, merupakan pernyataan simbolik
tentang fenomena, menggambarkan teori dari skema konseptual melalui penggunaan
symbol dan diafragma, dan Konsep
adalah suatu keyakinan yang kompleks terhadap suatu obyek, benda, suatu
peristiwa atau fenomena berdasarkan pengalaman dan persepsi seseorang berupa
ide, pandangan atau keyakinan. Model
konsepadalah rangkaian konstruksi yang sangat abstrak dan
berkaitan yang menjelaskan secara luas fenomena-fenomena, mengekspresikan
asumsi dan mencerminkan masalah. (Hidayat, 2006, hal.42)
Model
konseptual merupakan kerangka kerja konseptual, sistem atau skema yang
menerangkan tentang serangkaian ide global tentang keterlibatan individu,
kelompok, situasi, atau kejadian terhadap suatu ilmu dan perkembangannya. Model
konseptual memberikan keteraturan untuk berfikir, mengobservasi dan
menginterpretasi apa yang dilihat, memberikan arah riset untuk mengidentifikasi
suatu pertanyaan untuk menanyakan tentang fenomena dan menunjukkan pemecahan
masalah (Christensen & Kenny, 2009, hal. 29).
2.
Model
Konseptual dalam Keperawatan
Model
konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang situasi dan kondisi
pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model konseptual keperawatan
memperlihatkan petunjuk bagi organisasi dimana perawat mendapatkan informasi
agar mereka peka terhadap apa yang terjadi pada suatu saat dengan apa yang
terjadi pada suatu saat juga dan tahu apa yang harus perawat kerjakan (Brockopp,
1999, dalam Hidayati, 2009).
Model
konseptual keperawatan telah memperjelas kespesifikan area fenomena ilmu
keperawatan yang melibatkan empat konsep yaitu manusia sebagai pribadi yang
utuh dan unik. Konsep kedua adalah lingkungan yang bukan hanya merupakan sumber
awal masalah tetapi juga perupakan sumber pendukung bagi individu. Kesehatan
merupakan konsep ketiga dimana konsep ini menjelaskan tentang kisaran
sehat-sakit yang hanya dapat terputus ketika seseorang meninggal. Konsep keempat
adalah keperawatan sebagai komponen penting dalam perannya sebagai faktor
penentu pulihnya atau meningkatnya keseimbangan kehidupan seseorang (klien) (Marriner-Tomey,
2004, dalam Nurrachmah, 2010)
Tujuan dari model
konseptual keperawatan (Ali, 2001, hal. 98)
a.
Menjaga konsisten
asuhan keperawatan.
b.
Mengurangi konflik,
tumpang tindih, dan kekosongan pelaksanaan asuhan keperawatan oleh tim
keperawatan.
c.
Menciptakan
kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan.
d.
Memberikan pedoman
dalam menentukan kebijaksanaan dan keputusan.
e.
Menjelaskan dengan
tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan keperawatan bagi setiap anggota tim
keperawatan.
Konseptualisasi keperawatan umumnya memandang manusia sebagai mahluk
biopsikososial yang berinteraksi dengan keluarga, masyarakat, dan kelompok lain
termasuk lingkungan fisiknya. Tetapi cara pandang dan fokus penekanan pada
skema konseptual dari setiap ilmuwan dapat berbeda satu sama lain, seperti
penenkanan pada sistem adaptif manusia, subsistem perilaku atau aspek komplementer
(Marriner-Tomey , 2004, dalam
Nurrachmah, 2010)
3.
Keperawatan Jiwa
a.
Pengertian Keperawatan Kesehatan Jiwa( Yosep, 2010, hal. 1-2 )
1)
Menurut American Nurses Associations (ANA)
Keperawatan
jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu tingkah
laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara teraupetik dalam
meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan
mental masyarakat dimana klien berada (American Nurses Associations).
2)
Menurut WHO
Kesehatan
Jiwa bukan hanya suatu keadaan tidak ganguan jiwa, melainkan mengandung
berbagai karakteristik yang adalah perawatan langsung, komunikasi dan
management, bersifat positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan
kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadian yang bersangkutan.
3)
Menurut UU
KES. JIWA NO 03 THN 1966
Kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik,
intelektual emosional secara
optimal dari seseorang dan perkembangan ini selaras dengan orang
lain.
Keperawatan jiwa adalah pelayanan
keperawatan profesional didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa
pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial yang
maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan
diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa ( komunikasi terapeutik dan terapi
modalitas keperawatan kesehatan jiwa ) melalui pendekatan proses keperawatan
untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan
jiwa klien (individu, keluarga, kelompok komunitas ).Keperawatan jiwa adalah
proses interpersonal yang berusaha untuk meningkatkan dan mempertahankan
perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh sebagai manusia (Sulistiawati dkk ,
2005, hal. 5).
b.
Komponen Paradigma Keperawatan Jiwa
Prinsip
keperawatan jiwa terdiri dari empat komponen yaitu manusia, lingkungan,
kesehatan dan keperawatan(Sulistiawati
dkk, 2005, hal. 5-6)
1)
Manusia
Fungsi
seseorang sebagai makhluk holistik yaitu bertindak, berinteraksi dan bereaksi
dengan lingkungan secara keseluruhan. Setiap individu mempunyai kebutuhan dasar
yang sama dan penting. Setiap individu mempunyai harga diri dan martabat.
Tujuan individu adalah untuk tumbuh, sehat, mandiri dan tercapai aktualisasi
diri. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk berubahdan keinginan untuk
mengejar tujuan personal. Setiap individu mempunyai kapasitas koping yang
bervariasi. Setiap individu mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputuasan. Semua perilaku individu bermakna dimana perilaku tersebut
meliputi persepsi, pikiran, perasaan dan tindakan.
2)
Lingkungan
Manusia
sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam dirinya dan
lingkungan luar, baik keluarga, kelompok, komunitas. Dalam berhubungan dengan
lingkungan, manusia harus mengembangkan strategi koping yang efektif agar dapat
beradaptasi. Hubungan interpersonal yang dikembangkan dapat menghasilkan
perubahan diri individu.
3)
Kesehatan
Kesehatan
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang menunjukkan salah satu segi
kualitas hidup manusia, oleh karena itu, setiap individu mempunyai hak untuk
memperoleh kesehatan yang sama melalui perawatan yang adekuat.
4)
Keperawatan
Dalam
keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara holistik dan menggunakan
diri sendiri secara terapeutik. Metodologi dalam keperawatan jiwa adalah
menggunakan diri sendiri secara terapeutik dan interaksinya interpersonal
dengan menyadari diri sendiri, lingkungan, dan interaksinya dengan lingkungan.
Kesadaran ini merupakan dasar untuk perubahan. Klien bertambah sadar akan diri
dan situasinya, sehingga lebih akurat mengidentifikasi kebutuhan dan masalah
serta memilih cara yang sehat untuk mengatasinya. Perawat memberi stimulus yang
konstruktif sehingga akhirnya klien belajar cara penanganan masalah yang merupakan
modal dasar dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.
Proses
Keperawatan Kesehatan Jiwa bertujuan untuk mememberian asuhan keperawatan
sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien, merupakan proses terapeutik yang
melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien, dan masyarakat
untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Carpenito, 1989 dikutip oleh
Keliat,1991).
Kebutuhan
dan masalah klien dapat diidentifikasi, diprioritaskan untuk dipenuhi, serta
diselesaikan. Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat dapat terhindar
dari tindakan keperawatan yang bersifat rutin, intuisis, dan tidak unik bagi
individu klien. Proses keperawatan mempunyai ciri dinamis, siklik, saling
bergantung, luwes, dan terbuka. Setiap tahap dapat diperbaharui jika keadaan
klien klien berubah. Tahap demi tahap merupakan siklus dan saling bergantung.
Diagnosis keperawatan tidak mungkin dapat dirumuskan jika data pengkajian belum
ada. Proses keperawatan merupakan sarana / wahana kerja sama perawat dan klien.
Umumnya, pada tahap awal peran perawat lebih besar dari peran klien, namun pada
proses sampai akhir diharapkan sebaliknya peran klien lebih besar daripada
perawat sehingga kemandirian klien dapat tercapai. Kemandirian klien merawat
diri dapat pula digunakan sebagai kriteria kebutuhan terpenuhi dan / atau
masalah teratasi. (Keliat, 2006, hal.1-3)
c. Prinsip-Prinsip Keperawatan
Kesehatan Jiwa
Prinsip-prinsip
Keperawatan Kesehatan Jiwa menurut (Yosep, 2010, hal.6)
1) Roles and functions of psychiatric
nurse : competent care (Peran dan fungsi keperawatan jiwa : yang kompeten).
2) Therapeutic Nurse patient
relationship (hubungan yang terapeutik antara perawat dengan klien).
3) Conceptual models of psychiatric
nursing (konsep
model keperawatan jiwa).
4) Stress adaptation model of
psychiatric nursing (model stress dan adaptasi dalam keperawatan jiwa).
5) Biological context of psychiatric
nursing care (keadaan-keadaan biologis dalam keperawatan jiwa).
6) Psychological context of psychiatric
nursing care (keadaan-keadaan psikologis dalam keperawatan jiwa).
7) Sociocultural context of psychiatric
nursing care (keadaan-keadaan sosial budaya dalam keperawatan jiwa).
8) Environmental context of psychiatric
nursing care (keadaan-keadaan lingkungan dalam keperawatan jiwa).
9) Legal ethical context of psychiatric
nursing care (keadaan-keadaan legal etika dalam keperawatan jiwa).
10) Implementing the nursing process :
standards of care (penatalaksanaan proses keperawatan : dengan standar- standar perawatan).
11) Actualizing the Psychiatric Nursing
Role : Professional Performance
Standards (aktualisasi peran keperawatan jiwa: melalui penampilan
standar-standar professional).
4.
Jenis-Jenis Model
Konseptual Keperawatan Jiwa
Kebanyakan kaum profesional kesehatan mental memakai kerangka kerja
prakteknya berdasarkan banyak konsep model. Sebuah model adalah sebuah batang
ilmu pengetahuan yang berisi kerangka konsep pengetahuan yang berhubungan
dengan perilaku manusia. Fungsinya agar pendekatan dan prakteknya bisa diterima
secara logis dan mudah dievaluasi, berdasarkan hal-hal ilmiah dan mudah
dipertanggungjawabkan. Dalam keperawatan jiwa ada delapan konsep yang dipakai. ( Iyus Yosep ,2010, hal. 12)
Model
|
View of behavioral deviation
|
Therapeutic process
|
Roles of a patient & therapist
|
||
Psychoanalytical
(freud, Erickson)
|
Ego tidakmampumengontrolansietas,
konfliktidakselesai
|
Asosiasibebas&analisamimpi
Transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu
|
Klien: mengungkapkansemuapikiran&mimpi
Terapist : menginterpretasi pikiran dan mimpi
pasien
|
||
Interpersonal
(Sullivan,
peplau)
|
Ansietastimbul&dialamisecara
interpersonal, basic fear is fear of rejection
|
Build feeling security
Trusting relationship & interpersonal
satisfaction
|
Patient: share anxieties
Therapist : use empathy & relationship
|
||
Social
(caplan,szasz)
|
Social & environmental factors create
stress, which cause anxiety &symptom
|
Environment manipulation & social support
|
Pasien: menyampaikanmasalahmenggunakansumber
yang ada di masyarakat
Terapist: menggali system social klien
|
||
Existensial
(Ellis,
Rogers)
|
Individugagalmenemukandanmenerimadirisendiri
|
Experience in relationship, conducted in group
Encouraged to accept self & control
behavior
|
Klien: berperansertadalampengalaman yang
berartiuntukmempelajaridiri
Terapist: memperluas kesadaran diri klien
|
||
Supportive Therapy
(Wermon,Rockland)
|
Faktor biopsikososial & respon
maladaptive saat ini
|
Menguatkanresponkopingadaptif
|
Klien: terlibatdalamidentifikasi coping
Terapist: hubungan yang hangta dan empatik
|
||
Medical
(Meyer,Kreaplin)
|
Combination from physiological, genetic,
environmental & social
|
Pemeriksaan diagnostic, terapi somatic,
farmakologik&teknik interpersonal
|
Klien: menjalani prosedur diagnostic & terapi
jangka panjang
Terapist : Therapy, Repporteffects,Diagnose
illness, Therapeutic Approach
|
B.
Model Konseptual
Keperawatan Jiwa Model Medikal
1.
Pengertian Model
Medikal
Model medikal
mengacu pada perawatan psikiatri yang didasarkan pada hubungan dokter-pasien.
Ini berfokus pada diagnosis penyakit mental, dan pengobatan selanjutnya
didasarkan pada diagnosis ini. Perawatan somatik, termasuk farmakoterapi dan
electroconvulsive adalah komponen penting dari proses pengobatan. Aspek
interpersonal model medis sangat bervariasi, dari wawasan intensif berorientasi
intervensi untuk sesi singkat yang melibatkan manajemen medis obat. (Stuart dan
Larai, 1998, Hal. 61)
Sebagian besar
perawatan psikiatri modern didominasi oleh model medis. Profesional kesehatan
lainnya mungkin terlibat dalam rujukan antar, penilaian keluarga, dan pengajaran
kesehatan, tapi dokter dilihat sebagai pemimpin tim di bawah model ini. Elemen
model lain perawatan dapat digunakan bersama dengan model medis. Misalnya,
pasien dengan schzophrenia dapat diobati dengan obat fenotiazin. Pasien ini
dapat juga diberikan dalam supportivetherapy untuk mengembangkan skiils sosial
adaptif. (Stuart dan Larai, 1998, Hal. 61)
Sebuah kontribusi
positif dari model medis telah menjadi eksplorasi terus menerus untuk penyebab penyakit
mental yang menggunakan proses ilmiah. Baru langkah besar telah dibuat untuk
belajar tentang fungsi sistem otak dan saraf. Kemajuan ini telah menyebabkan
pemahaman tentang komponen fisiologis kemungkinan gangguan perilaku dan lebih
banyak perawatan psikiatris efektif (Stuart , 1998, Hal. 61)
Model yang dikemukakan oleh Meyer,
Kraeplin, Spitzer dan Frances ini mengemukakan bahwa prilaku disebabkan oleh penyakit biologis.
Gejala-gajala ini timbul akibat kombinasi faktor-faktor fisiologis, genetik, lingkungan, dan social. Prilaku
menyimpang berhubungan dengan toleransi pasien terhadap stress (Stuart &Laraia , 2001, Hal. 56).
Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifaktor
yang kompleks meliputi: aspekfisik, genetik,
lingkungan dan faktorsosial. Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostik,
terapisomatik, farmakologikdanteknik interpersonal. Diagnosa penyakit didasarkan pada kondisi yang ada dan
informasi historis serta pemeriksaan diagnostik. Pengobatan meliputi terapi somatik dan farmakologis selain berbagai
teknik interpersonal. Peran pasien disini mengikuti program terapi yang
dianjurkan dan melaporkan efek terapi kepada ahli terapi. Pasien menjalani terapi jangka
panjang jika diperlukan. Ahli terapi menggunakan terapi somatik dan terapi interpersonal. Ahli
terapi menegakkan diagnosis penyakit dan menentukan pendekatan terapeutik (Stuart &Laraia , 2001, Hal. 56).
Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang,
therapist berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnosa,
dan menentukan jenis pendekatan terapi yang
digunakan (Stuart
&Laraia , 2001, Hal. 56).
Menurut Meyer dan
Kreplin, konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifaktor yang
komplek meliputi: aspek fisik, genetik, lingkungan, dan faktor sosial. Sehingga
fokus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostik, terapi
somatik, farmakologi, dan tehnik interpersonal. Perawat berperan dalam
berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostik dan terapi
jangka panjang, terapist berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai
dampak terapi, menentukan diagnosa dan menentukan jenis pendekatan terapi yang
digunakan (Yosep , 2010, Hal. 15)
2.
Dilihat Dari Penyimpangan Perilaku
Model medis
mengusulkan bahwa perilaku menyimpang merupakan gejala dari gangguan sistem saraf
pusat. Andreasen menulis "penyakit mental benar-benar gangguan saraf”.
Suatu masalah yang terjadi ketika saraf otak cedera begitu parah sehingga
kapasitas penyembuhan internal tidak dapat memperbaikinya. Daftar beberapa
jenis gangguan otak yang dapat menyebabkan penyakit mental diantaranya hilangnya sel saraf, defisit dalam transmisi
kimia, pola abnormal dari sirkulasi otak, masalah di pusat-pusat perintah di
otak, dan gangguan dalam pergerakan pesan di sepanjang saraf. (Stuart, 1990,
Hal. 62 )
Saat ini sifat yang
tepat dari gangguan fisiologis belum dipahami dengan baik. Diperkirakan bahwa
gangguan seperti gangguan bipolar, depresi berat dan skizofrenia melibatkan
kelainan dalam transmisi impuls saraf. Hal ini juga dapat diketahui bahwa
masalah ini terjadi pada tingkat sinaps dan melibatkan zat kimia saraf seperti
dopamin, serotonin, dan norepinefrin. (Stuart, 1990, Hal. 62)
Banyak penelitian yang
melibatkan otak dalam respons emosional berlangsung. Cabang lain penelitian
berfokus pada stres dan respon manusia terhadap stres. Para peneliti bertanya,
"mengapa beberapa orang tampaknya mentolerir stres yang besar dan terus
berfungsi dengan baik, sedangkan yang lain berantakan ketika masalah kecil
muncul?" Para peneliti menduga bahwa manusia memiliki ambang stres
fisiologis yang mungkin secara genetik ditentukan. Bidang-bidang penelitian
yang lebih baik dapat memandu pengobatan di masa mendatang (Stuart , 1998, Hal.
62).
Akibat manifestasi
penyakit, kerusakan sistem persyarafan, ketidakseimbangan hormonal. Faktor
lingkungan dan sosial dianggap sebagai faktor pencetus dan faktor pendukung.
Faktor genetik dianggap cukup berperan. Penyimpangan perilaku karena klien
tidak mampu bertoleransi terhadap stres(Stuart & Laraia , 2001, Hal. 57)
3.
Proses Terapi Medis
Proses terapi medis
didefinisikan dengan baik dan akrab bagi kebanyakan pasien. Pemeriksaan pasien
meliputi sejarah penyakit ini, sejarah sosial, sejarah medis, kajian sistem
tubuh, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan status mental. Data tambahan dapat
dikumpulkan dari orang lain yang signifikan, dan catatan medis ditinjau jika
tersedia. Diagnosis kemudian dirumuskan, sambil menunggu penelitian lebih
lanjut diagnostik dan pengamatan perilaku pasien. Proses ini dapat terjadi pada
rawat jalan atau rawat inap secara, tergantung pada kondisi pasien. (Stuart,
1998, Hal. 62)
Diagnosis
diklasifikasikan menurut manual diagnostik dan statistik gangguan mental, edisi
keempat (DSM-IV) dari asosiasi psikiatris amerika. Nama – namapenyakit yang
disertai dengan penjelasan kriteria diagnostik, terkait fitur umum medis dan
psikiatris, diagram menunjukkan longitudinal dari gangguan, dan jenis kelamin
tertentu, umur, dan aspek budaya dari masing – masing penyakitnya. Perubahan
dalam manual mencerminkan perubahan dalam model medis perawatan kejiwaan. DSM
pertama kali diterbitkan pada 1952, dan DSM-IV, yang diterbitkan pada tahun
1994. (stuart:1998, Hal. 62)
Setelah diagnosis
dibuat, pengobatan dimulai oleh para dokter dan sesuai dengan rencana
pengobatan. Anggota tim kesehatan lain mungkin menyumbangkan keahlian mereka.
Respon terhadap pengobatan dievaluasi pada pengamatan tujuan dokter perilaku
gejala. Terapi dihentikan bila gejala pasien telah disetorkan. Karena dalam
sikap, beberapa orang yang mengalami depresi mungkin dapat kembali ke gaya
hidup yang biasa mereka setelah suatu program pengobatan dan terapi suportif.
Pasien lain mungkin memerlukan terapi jangka panjang, sering termasuk farmakoterapi
dan studi laboratorium berkala (Stuart,1998,
Hal. 62)
Diagnosis penyakit
dilandasi oleh kondisi yang ada dan informasi historis serta pemeriksaan
diagnostik. Pengobatan meliputi (Stuart&Laraia,2001, Hal.57) :
a.
Terapi somatik
b.
farmakoterapi
c.
Pengobatan : jangka panjang , jangka pendek
d.
Terapi suportif
e.
Insight oriented terapi yaitu belajar metode mengatasi stressor
4.
Peran Dari Terapi Pasien Dan Medis
Peran dokter dan
pasien telah didefinisikan dengan baik oleh tradisi. Dokter sebagai penyembuh,
mengidentifikasi penyakit pasien serta menyusun rencana pengobatan. Pasien
mungkin memiliki beberapa orang mengatakan tentang rencana tersebut, namun
dokter meresepkan terapi. (Stuart, 1998, Hal. 62)
Peran pasien
melibatkan mengakui sedang sakit, yang dapat menjadi masalah dalam psikiatri.
Pasien kadang-kadang tidak menyadari perilaku mereka terganggu dan secara aktif
mungkin menolak pengobatan. Ini tidak sesuai dengan model medis. Pasien
diharapkan untuk mematuhi program pengobatan dan mencoba untuk sembuh. Jika
perbaikan tidak diamati , pengasuh dan orang lain yang signifikan sering
menduga bahwa pasien tidak berusaha cukup keras. Ini bisa membuat frustasi
kepada pasien yang sedang mencoba untuk sembuh dan kecewa dengan kurangnya
kemajuan. Pasien juga mungkin harus membiarkan orang sulit memperpanjang
perawatan sementara memenuhi seluruh kebutuhan (Stuart , 1998,
Hal. 62).
5.
Terapi Yang Dapat Diberikan serta Peran Perawat
Disini adalah beberapa terapi yang
bisa diberikan kepada klien yang mengalami gangguan dengan model konseptual
medikal, serta beberapa peran perawat didalamnya (Stuart, 2002, Hal. 403) :
a.
Terapi Somatik
Terapi somatik adalah terapi yg
diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku
yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dgn melakukan tindakan yang ditujukan
pada kondisi fisik klien.
Jenis terapi somatik pd klien gangguan jiwa antara lain:
1)
Pengekangan
Pengekangan fisik termasuk penggunaan
pengekangan mekanik, seperti manset utk pergelangan tangan & pergelangan
kaki, serta seperai pengekang, begitu pula isolasi, yaitu dengan menempatkan
pasien dlm suatu ruangan dimana dia tdk dpt keluar atas kemauannya sendiri.
a)
Indikasi Pengekangan
·
Perilaku amuk
·
Perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan
·
Ancaman terhadap infegritas fisik
·
Permintaan pasien utk pengendalian perilaku eksternal
b)
Pengekangan dengan Seprei Basah dan Dingin
Pasien dpt diimobilisasi dgn
membalutnya seperti mummi dalam lapisan seprei dan selimut. Lapisan paling
dalam terdiri atas seprei yg telah direndam dalam air es. Walaupun mula-mula
terasa dingin, balutan segera menjadi hangat dan menenangkan.
2)
Isolasi
Menempatkan pasien dalam suatu ruang di mana dia tidakdapat keluar dari ruangan tersebut sesuai kehendaknya. Tingkatan pengisolasian dapat berkisar dari penempatan dalam ruangan yang tertutup, tapi tidak terkunci sampai pada penempatan dalam ruang terkunci dengan kasur tanpa
seprei di lantai, kesempatan berkomunikasi yang dibatasi, & pasien memakai pakaian
rumah sakit atau kain terpal yang berat. Penggunaan kain terpal kurang dapat diterima & hanya digunakan untuk melindungi pasien aiau orang lain.
a)
Indikasi penggunaan:
·
Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan pasien atau orang
lain dan tidak dapat dikendalikan oleh orang lain dengan intervensi pengekangan
yang longgar, seperti kontak interpersonal atau pengobatan.
·
Reduksi stimulus lingkungan, terutama jika diminta oleh pasien.
b)
Kontraindikasi adalah:
(1)
Kebutuhan untuk pengamatan masalah medik
(2)
Risiko tinggi untuk bunuh diri
(3)
Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori
(4)
Hukuman.
3)
Terapi Kejang Listrik
Terapi elektrokonvulsif (ECT) adalah
suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara artifisial dengan
melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang
pada satu atau dua "temples." Jumlah tindakan yang dilakukan merupakan
rangkaian yang bervariasi pada tiap pasien tergantung ; pada masalah pasien dan
respons terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan. Rentang jumlah
yang paling umum dilakukan pada pasien dengan gangguan afektif antara enam
sampai 12 kali, sedangkan pada pasien skizofrenia biasanya diberikan sampai 30
kali. ECT biasanya diberikan 3 kali seminggu atau setiap beberapa hari,
walaupun sebenarnya bisa diberikan lebih jarang atau lebih sering.
Walaupun sebagai terapi ECT cukup aman,
akan tetapi ada beberapa kondisi merupakan kontra indikasi diberikan terapi
ECT.
a)
Kondisi – kondisi klien yang kontra indikasi
tersebut adalah:
(1)
Tumor intra kranial, karena ECT dapat meningkatkan tekanan intra kranial.
(2)
Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran.
(3)
Osteoporosis, karena dengan timbulnya grandmall dapat berakibat terjadinya
fraktur tulang.
(4)
Infark miokardium, dapat terjadi henti jantung.
(5)
Asthma bronkial, karena ECT dapat memperberat penyakit ini.
b)
Indikasi penggunaan adalah:
(1)
Penyakit depresi berat yang tidak berespons terhadap obat antidepresan atau
pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat
(2)
Gangguan bipolar dimana pasien sudah tidak berespons lagi terhadap obat
(3)
Pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama tidak
menerima pengobatan untuk dapat mencapai efek terapeutik
(4)
Jika efek sampingan ECT yang diantisipasikan lebih rendah daripada efek
terapi pengobatan, seperti pada pasien
lansia dengan blok jantung, dan selama kehamilan
4)
Fototerapi
Foto terapi atau terapi sinar adalah
terapi somatik pilihan. Terapi ini diberikan dengan memaparkan klien pada sinar
terang 5-20x lebih terang daripada sinar ruangan. Klien biasanya duduk, mata
terbuka, 1,5 meter di depan klien diletakkan lampu setinggi mata.
Waktu dilaksanakan foto terapi
bervariasi dari orang per orang. Beberapa klien berespon kalau terapi diberikan
pada pagi hari, sementara yang lain lebih berespon kalau diberikan pada sore
hari. Efek terapi ditentukan selain oleh lamanya terapi juga ditentukan oleh
kekuatan cahaya yang digunakan. Dengan kekuatan cahaya sebesar 2500 lux yang
diberikan selama 2 jam sehari efeknya sama dalam menurunkan depresi dengan
terapi dengan kekuatan cahaya sebesar 10.000 lux dalam waktu 30 menit sehari.
Terapi sinar sangat bermanfaat dan
menimbulkan efek yang positif. Kebanyakan klien membaik setelah 3-5 hari terapi kan tetapi bisa kambuh
kembali segera setelah terapi dihentikan. Keuntungan yg lain klien tdk akan
mengalami toleransi terhadap terapi ini.
a)
Indikasi :
Fototerapi dapat menurunkan 75% gejala depresi yang dialami klien akibat perubahan cuaca
(seasonal affective disorder(SAD)), misalnya pada musim hujan atau musim
dingin(winter) di mana terjadi hujan, mendung terus menerus yang bisa mencetuskan depresi pada beberapa orang.
b)
Mekanisme Kerja :
Fototerapi bekerja berdasarkan ritme
biologis sesuai pengaruh cahaya gelap terang pd kondisi biologis. Dgn adanya
cahaya terang terpapar pd mata akan merangsang sistem neurotransmiter serotonin
& dopamin yg berperanan pd depresi.
c)
Efek Samping :
Kebanyakan efek samping yg terjadi
meliputi ketegangan pada mata, sakit kepala, cepat terangsang, insomnia,
kelelahan, mual, mata menjadi kering, keluar sekresi dari hidung dan sinus.
5)
Terapi deprivasi tidur
Terapi deprivasi tidur adalah terapi yg
diberikan kpd klien degn cara mengurangi jumlah jam tidur klien. Hasil
penelitian ditemukan bahwa 60% klien depresi mengalami perbaikan yg bermakna
setelah jam tidurnya dikurangi selama 1 malam. Umumnya lama penurangan jam
tidur efektif sebanyak 3,5 jam.
a)
Indikasi : Terapi deprivasi tidur dianjurkan untuk klien depresi.
b)
Mekanisme Kerja:
Mekanisme kerja terapi deprivasi tidur
ini adalah mengubah neuroendokrin yang berdampak anti depresan. Dampaknya
adalah menurunnya gejala-gejala depresi.
c)
Efek Samping :
Klien yg didiagnosa mengalami gang.
efektif tipe bipolar bila diberikan terapi ini dpt mengalami gejala mania.
b. Peran Perawat dalam
Terapi psikofarmalogi (Stuart, 2002, Hal. 377)
Perawat harus
mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi pskofarmakologis yang tersedia,
tetapi informasi ini harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan
holistik pada asuhan pasien. Peran perawat mengikuti hal-hal sebagai berikut:
1)
Pengkajian pasien. Pengkajian pasien memberikan landasan
pandangan tentang masing-masing pasien
2)
Koordinasi modalitas terapi. Koordinasi ini mengintegrasikan
berbagai terapi pengobatan dan sering kali membingungkan bagi pasien.
3)
Pemberian agens psikofarmakologis. Program pemberian obat
dirancang secara profesional dan bersifat individual.
4)
Pemantauan efek obat. Termasuk efek yang diinginkan maupun
efek sampng yang dapat dialami pasien.
5)
Penyuluhan pasien. Memungkinkan pasien untuk meminum obat
dengan aman dan efektif.
6)
Program rumatan obat. Dirancang untuk mendukung pasien
disuatu tantangan perawatan tindak lanjut dalam jangka panjang.
7)
Partisipasi dalam penelitian klinis antardisiplin tentang
uji coba obat. Perawat merupakan anggota tim yang penting dalam peneitian obat
yang digunakan untuk mengobati pasien gangguan jiwa.
8)
Kewenangan untuk memberikan resep. Beberapa perawat jiwa
yang memenuhi persyaratan pendidikan dan pengalaman sesuai dengan undang-undang
praktik negaranya boleh meresepkan agens farmakologis untuk mengobati gejala dan
memperbaiki status fungsional pasien yang mengalami gangguan jiwa.
BAB III
APLIKASI MODEL KONSEPTUAL KEPERAWATAN JIWA : MODEL
MEDIKAL
A. Kasus
Seorang laki laki usia 20 tahun
dibawa ke Rumah Sakit Jiwa oleh keluarga karena mengamuk, marah-marah
(mengancam hendak membunuh bapaknya dan merusak barang rumah tangga) tanpa alasan
yang jelas. 2 tahun SMRS (2007), pasien ditinggalkan pacarnya yang menikah
dengan seorang tentara, kejadian tersebut membuat emosi pasien terguncang.
Beberapa hari setelah itu, pasien meminum obat serangga dan sempat dibawa ke
IGD RSU, dia melakukan itu dikarenakan mendapatkan perintah dari sesosok
bayangan. Sejak saat itu (tahun 2007), keluarga membawa pasien untuk berobat ke
rumah sakit jiwa. Enam bulan SMRS (tahun 2009), ayah pasien meninggal dunia
setelah kejadian ini kondisi kejiwaan pasien semakin terguncang. Pasien menjadi
pendiam, sering tidak dapat tidur waktu malam hari, mudah marah dan
tersinggung, sering bicara dan tertawa sendiri. Pasien sering dibisiki dan
mencium bau wangi tiap bayangan itu muncul. Pasien juga pernah merasa
pikirannya disedot dan pikiran menjadi kosong. Pada tahun 2007 pasien mondok di
RSJ dua kali. Pasien pulang dengan melarikan diri. Lalu saat dibawa keluarganya
kontrol, pasien mondok lagi pada tanggal 14 Desember 2008. Pada tanggal 2
September 2009 (2 bulan SMRS), keponakan pasien menikah. Sejak saat itu pasien
menjadi semakin murung dan sering mengurung diri. Selain itu pasien juga
mengalami kesulitan tidur, nafsu makan yang sangat berkurang, sering
mondar-mandir dengan telanjang, mudah marah, mengamuk, merusak alat-alat rumah
tangga, mengganggu lingkungan, dan berkali-kali akan melakukan kekerasan
terhadap ibunya. Lalu pasien dibawa ke RSSM oleh ibu dan saudara-saudaranya.
Keadaan umum baik, compos mentis,
kesan gizi cukup. Tanda vital, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 76x / menit, RR
22x /menit, suhu afebris, tidak terdapat kelainan pada sistem organ lain.
Status psikiatri yang didapat kesan umum compos mentis, sesuai umur, perawatan
diri cukup, gizi cukup. Sikap dan tingkah laku non-kooperatif, roman muka
normomimik, pembicaraan normoaktif. Persepsi terdapat halusinasi visual,
halusinasi auditorik, halusinasi olfaktorius, halusinasi taktil, ilusi. Proses
pikir bentuk pikir non realistik, arus pikir kuantitatif normal, kualitatif
flight of idea, isi pikir terdapat waham bizzare, waham kebesaran, waham
curiga. Gejala-gejala tersebut dialami oleh pasien selama lebih dari 1 bulan.
B. Analisa Kasus
Berdasarkan diagnosis medis yang
dilakukan, Sindrom yang didapat oleh klien antara lain sindroma psikotik
(hendaya peran, gangguan dalam berperilaku, pola pikir dan perasaan, adanya
distres), sindroma skizofrenia (waham bizzare, waham kebesaran, waham curiga,
halusinasi visual, halusinasi auditorik, halusinasi olfaktori, halusinasi
taktil, non realistik dengan onset lebih dari 1bulan), dan Sindrom depresi (kehilangan minat dan
kegembiraan, penurunan aktivitas, merasa tidak berguna, rasa bersalah,
pesimistis, sulit tidur, nafsu makan berkurang).
1. Diagnosis
a. Aksis
I : Skizofrenia Tak Terinci
b. Aksis II
: F.60.1 (Gangguan kepribadian skizoid)
c. Aksis
III : Tidak ada diagnosis
d. Aksis IV
: Tidak ada diagnosis
e. Aksis V
: GAF scale 60-51
Skizofrenia adalah gangguan jiwa
yang termasuk dalam kelompok gangguan neurokognitif di mana terjadi gangguan
dalam proses pikir dan persepsi. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan awal
timbulnya skizofrenia. Secara biologis dikatakan bahwa skizofrenia mungkin
timbul akibat keabnormalan dalam perkembangan struktur otak. Teori kedua dari
kelompok biologis adalah hipotesis dopamin yang mengatakan bahwa skizofrenia
terjadi akibat ketidakseimbangan kadar neurotransmitter dopamin di otak. Teori
terakhir tentang skizofrenia menunjukan bahwa gangguan jiwa ini dapat
diturunkan secara genetik.
Berdasarkan atas kriteria diagnostik
yang tercantum dalam DSM IV-TR, maka seseorang dikatakan menderita skizofrenia
bila mengalami dua atau lebih gejala berikut yang telah berlangsung selama
sekurangnya satu bulan lamanya :
a. Waham/delusi : gangguan isi pikir
berupa suatu keyakinan yang salah, tidak sesuai realita, tidak dapat dikoreksi,
dan tidak sesuai dengan latar belakang sosial dan budaya dari pasien.
b. Halusinasi : gangguan persepsi di
mana respon muncul tanpa adanya sumber stimulus dari lima panca indera.
Halusinasi dapat berupa halusinasi pendengaran, halusinasi penglihatan,
halusinasi pengecapan, halusinasi perabaan, halusinasi penghiduan.
c. Pembicaraan kacau : merupakan gangguan
pada proses pikir, derajatnya bervariasi dari gangguan ringan seperti derailment
hingga kondisi berat berupa inkoherensia di mana kata-kata pasien tidak dapat
dimengerti lagi sepenuhnya.
d. Perilaku kacau atau perilaku
katatonik
e. Gejala negatif seperti afek yang
terganggu, ketiadaan pembicaraan, ketiadaan gerakan, sikap menarik diri
berlebihan, dll.
Kriteria tersebut dapat ditegakan
bila hanya ditemukan waham yang bersifat bizare (aneh) atau halusinasi
pendengaran berupa suara yang terus-menerus berkomentar atau menyuruh-nyuruh
pasien, atau suara-suara yang bercakap-cakap di antara mereka sendiri. Selain
itu harus ditemukan pula gangguan yang jelas pada fungsi sosial dan pekerjaan.
Pada pasien terdapat gangguan
persepsi berupa halusinasi visual, halusinasi auditorik , halusinasi
olfaktorius, halusinasi taktil, ilusi dan terdapat pula gangguan proses pikir
yaitu bentuk pikir non realistik, arus pikir kualitatif flight of idea. Selain
itu terdapat gangguan isi pikir yaitu waham bizzare, waham kebesaran, waham
curiga. Gejala tersebut telah dialami pasien selama lebih dari 1 bulan. Selain
itu penegakan diagnosis diperkuat dengan didapatkan pula sindroma psikotik
(hendaya peran, gangguan dalam berperilaku, pola pikir dan perasaan, adanya
distres), sindroma skizofrenia (waham bizzare, waham kebesaran, waham curiga,
halusinasi visual, halusinasi auditorik, halusinasi olfaktori, halusinasi
taktil, non realistik dengan onset lebih dari1bulan), dan sindrom depresi (kehilangan minat dan
kegembiraan, penurunan aktivitas, merasa tidak berguna, rasa bersalah,
pesimistis, sulit tidur, nafsu makan berkurang). Dari gejala yang ditemukan
dapat ditegakkan diagnosis skizofrenia pada pasien tersebut menurut DSM IV-TR.
Menurut PPDGJ pedoman diagnostik
pada Skizofrenia tak terinci yaitu memenuhi kriteria umum untuk diagnosis
Skizofrenia, tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia Paranoid,
Herbefrenik, atau Katatonik, Residual maupun Depresi Paska Skizofrenia.
C. Penyelesaian kasus
Pada pasien ini
pada pertama-tama akan dilakukan electro convulsive terapy, kemudian akan dilanjutkan
dengan farmakoterapi lewat pemberian risperidone 2x2mg dan trihexifenidil
2x2mg. Pada pasien dilakukan electro
convulsif terapy (ECT), Electro
Convulsif Therapy (ECT) atau yang lebih dikenal dengan elektroshock adalah
suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha
pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi pasien gangguan jiwa yang
tidak berespon kepada obat psikiatri pada dosis terapinya. ECT bertujuan untuk menginduksi
suatu kejang klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure)
setidaknya selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana
seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme
pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan
memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan
kadar serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien depresi yang
tidak responsif terhadap terapi farmakologis. ECT ditujukan bagi pasien
gangguan jiwa baik itu schizoprenia maupun depresi berat (terutama dengan
risiko bunuh diri) yang tidak berespon terhadap terapi farmakologis dengan
dosis efektif tinggi dan psikoterapi. Namun diperlukan pertimbangan khusus jika
ingin melakukan ECT bagi ibu hamil, anak-anak dan lansia karena terkait dengan
efek samping yang mungkin di timbulkannya. Efek samping ECT secara fisik hampir
mirip dengan efek samping dari anesthesia umum. Secara psikis efek samping yang
paling sering muncul adalah kebingungan dan memory loss setelah beberapa jam
kemudian. Biasanya ECT akan menimbulkan amnesia retrograde dan antegrade.
Beberapa ahli juga menyebutkan bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal
ini masih diperdebatkan karena masih belum terbukti secara pasti. Penggunaan
electro convulsive terapy (ECT) pada kasus schizophrenia cukup memuaskan,
terutama pada kasus-kasus yang tidak maksimal dengan farmakoterapi.
Efek samping khusus yang perlu
diperhatikan :
1. Cardiovaskuler :
a. Segera : stimulasi parasimpatis
(bradikardi, hipotensi)
b. Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis
(tachycardia, hipertensi, peningkatan konsumsi oksigen otot jantung,
dysrhythmia)
2. Efek Cerebral :
a. Peningkatan konsumsi oksigen.
b. Peningkatan cerebral blood flow
c. Peningkatan tekanan intra cranial
3. Efek lain :
a. Peningkatan tekanan intra okuler
b. Peningkatan tekanan intragastric
4.
Peran Perawat
a.
Dapatkan prosedur tindakan
b.
Memberikan penyuluhan pada pasien dan keluarga
tentang prosedur
c.
Pastikan status puasa pasien setelah tengah malam
d.
Minta pasien untuk melepaskan perhiasan , jepit
rambut, kaca mata, dan alat bantu pendengaran
e.
Semua gigi palsu dilepaskan; tambalan gigi
parsial dipertahankan
f.
Membantu mengosongkan kandung kemih pasien
g.
Berikan obat praterapi
h.
Pastikan obat dan peralatan yang diperlukan
tersedia dan siap pakai
i.
Bantu pelaksanaan ECT
j.
Tenangkan pasien
k.
Dokter / ahli anestesi memberikan oksigen untuk
menyiapkan pasien bila terjadi apnea karena relaksan otot
l.
Berikan obat
m.
Pasang spatel lidah yang diberi bantalan untuk
melindungi gigi pasien
n.
Pasang elektroda. Dan syok diberikan
o.
Pantau pasien selama masa pemulihan
p.
Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir
sesuai kebutuhan
q.
Pantau TTV
r.
Setelah pernafasan pulih kembali, atur posisi
miring pada pasien sampai sadar. Pertahankan jalan nafas paten
s.
Jika pasien berespon, orientasikan pasien
t.
Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah
memeriksa adanya hippotensi postural
u.
Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya
v.
Berikan makanan ringan
w.
Libatkan dalam aktivitas sehari – hari seperti
biasa, orientasikan pasien sesuai kebutuhan
x.
Berikan analgetik untuk sakit kepala jika
diperlukan bagi klien.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebanyakan kaum profesional kesehatan mental memakai kerangka kerja
prakteknya berdasarkan banyak konsep model. Sebuah model adalah sebuah batang
ilmu pengetahuan yang berisi kerangka konsep pengetahuan yang berhubungan
dengan perilaku manusia. Fungsinya agar pendekatan dan prakteknya bisa diterima
secara logis dan mudah dievaluasi, berdasarkan hal-hal ilmiah dan mudah
dipertanggungjawabkan.
Salah satu Model
konseptual dalam keperawatan jiwa adalah model medikal. Model medikal ini
fokusnya pada diagnosis penyakit mental dan proses pengobatan berdasarkan
diagnosis. Fungsi model medikal adalah
mengobati yang sakit dan proses pengobatan pada fisik, tidak menyalahkan
perilaku kliennya.
Perawat harus
mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi psikofarmakologis yang tersedia,
tetapi informasi ini harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan
holistik pada asuhan pasien. Kemudian Proses pengobatan ini
Lebih ke arah somatik :
farmakoterapi, ECT atau psikosurgery.
B.
Saran
1.
Perawat diharapkan dapat menerapkan model konseptual
keperawatan jiwa khususnya model medikal
dalam merespon setiap perilaku pasien . seperti pasien yang mengalami depresi
berat , dengan melakukan komunikasi terapeutik dan membina hubungan saling
percaya antara pasien dan perawat itu sendiri. Selain itu dapat dilakukan elektroshock dimana elektroshock itu
sendiri adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik
dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi pasien gangguan
jiwa yang tidak berespon kepada obat psikiatri pada dosis terapinya.
2.
Institusi pelayanan keperawatan khususnya rumah sakit maupun puskesmas
diharapkan mampu menerapkan model medikal pada setiap perawat yang ada, melalui
pendekatan terapeutik dalam mengatasi
masalah yang timbul. Selain itu institusi pelayanan kesehatan juga harus mampu
memberikan pelayan kesehatan yang baik bagi
pasien-pasien yang terkena gangguan jiwa.
3.
Institusi pendidikan keperawatan dapat memberikan pendidikan yang
mendalam mengenai model konseptual khususnya model medikal sehingga mahasiswa
dapat menjadikan model medikal sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan
untuk mengkaji penyebab timbulnya perilaku-perilaku kekerasan yang berlebihan /
depresi berat yang bisa merugikan banyak orang.
DAFTAR
PUSTAKA
Stuart Gail. 2007 . buku saku keperawatan jiwa edisi 5.
Jakarta:EGC
Suliswati dkk. 2005. Konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa.
Jakarta:EGC
Isaacs
ann. 2005.panduan belajar keperawatan
kesehatan jiwa dan psikiatri edisi 3. Jakarta:EGC
Yosep Iyus. 2009.keperawatan jiwa.bandung:Refika aditama
Stuart
dan sundeen’s.1998.principle practice of
psychiatric nursing sixth edition. St Louis, missour:mosby-year book
Stuart
dan larai.2001.principles and practice of
psychiatric nursing. St Louis mossour : westline industrial drive
Budi
Anna Keliat, dkk 1998. Proses keperawatan
kesehatan jiwa. Jakarta:EGC
Christensen,P.
J. dan Kenney, J.W. (2009), Proses keperawatan Aplikasi Model Konseptual, Ed.4,
Jakarta, EGC.
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Zaidin, Ali. 2002. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: Widya Medika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar